Di Gorontalo, Muhammadiyah telah berdiri sejak tanggal 18 November 1928 sedangkan NU baru berdiri tahun 1938, berarti terpaut 10 tahun. Pendirian Muhammadiyah di Gorontalo diresmikan langsung Sekretaris Hoofdbestuur atau Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Mohamad Junus Anis.
Setahun kemudian, terbentuklah Komite Pendiri Muhammadiyah sejumlah 11 orang yakni Jusuf Otoluwa, Ahmad Buji, Husasi Akase, Umar Basalama, Muhammad Dunggio, Muhsin Mohammad, Haji Muhammad Said, Tom Olii, Utina H Buluati, Abdulah Van Grey dan Baowe Nasaru.
Dari Komite tersebut, terpilihlah Tom OliI sebagai Ketua, Jusuf Otoluwa sebagai Wakil Ketua, Mohamad Dunggio sebagai Sekretaris, Muhsin Mohamad sebagai Bendahara, dan komisaris masing-masing Haji Yusuf Abas, Umar Basalama, Husain Akase, Mursyid Mohi, Y Kamaru dan Marl Baladraf.
Di tahun 1930, ikut berdiri Aisyiah Cabang Gorontalo dengan Ketua yakni Marie Lamadilaw, Marie Dambea sebagai Wakil Ketua, Marie Suleman sebagai Sekretaris, Zubaedah Dungga sebagai bendahara, dan komisaris diantaranya Zenab Saboe, Hadijah Husa, Saripah Baga, Hawa OliI dan Ida Dunda.
Muhammadiyah juga memiliki sekolah terkenal di Yogyakarta yang bernama Mualimin Muhammadiyah, beberapa siswa dan siswi yang pernah menimba ilmu di perguruan tersebut adalah Prof. Mince Kasim (ibu dari Pak Farid Musa) dan, Alm. Zubair Modanggu (ayah dari Pak Thariq Modanggu).
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Azhar Basyir pertama kali pernah menjadi Guru Mualimin yang ditempatkan di Gorontalo. Demikian halnya dengan ayahanda dari Prof. Amien Rais yang pernah menjadi Guru Mualimin di Gorontalo.
Di Gorontalo sendiri, secara umum Muhammadiyah itu “terpilah” dua, yakni Muhammadiyah dan Muhammadiyah “Karas”. Disebut “karas” itu karena mungkin lebih ketat dalam memegang aturan-aturan yang telah ditetapkan Majelis Tarjih dan Tajdid.
Pada survey yang dilakukan oleh Pusat Inovasi UNG pada tahun 2022, ada sekitar 7 % responden yang mengaku sebagai anggota Muhammadiyah. Sedangkan yang mengaku sebagai anggota Nahdlatul Ulama hanya sekitar 27 %. Itu berarti lebih dari 60 % warga Gorontalo yang tidak merasa sebagai anggota kedua organisasi tersebut.
Data diatas menunjukkan hal yang unik, bahwa secara nasional NU itu sekitar 75 %, dan Muhammadiyah sekitar 5 %. Ada perbedaan yang jauh antara data nasional dan lokal terkait jumlah warga yang mengaku sebagai anggota NU. Kalau angka Muhammadiyah terpaut sedikit.
Padahal, jika melihat pada kultur Gorontalo, secara garis besar lebih condong ke tradisi Nahdlatul Ulama, namun yang merasa berafiliasi sebagai anggota organisasi NU hanya dibawah 30 %. Berarti NU Gorontalo cenderung pada NU Kultural dibandingkan dengan NU yang sifatnya struktural.
Pertanyaan ini tentunya menjadi refleksi bagi NU itu sendiri, mengapa ada sebagian besar orang Gorontalo yang memiliki tradisi NU tapi tidak mengaku sebagai warga organisasi NU?
Berbeda dengan Muhammadiyah, pencatatan dan administrasi keanggotaannya harus diakui lebih rapi dibandingkan NU. Demikian pula pengelolaan organisasi yang linier dengan perkembangan mutakhir.
Muhammadiyah Gorontalo pun harus diakui basis geografisnya kurang luas, misalnya ada beberapa titik seperti Wonggaditi, Sipatana, Limehe, Batudaa, Pentadio dan beberapa titik lainnya. Namun, seiring dengan perkembangan tata ruang dan pola permukiman, anggota-anggota Muhammadiyah mulai tersebar ke seluruh Gorontalo. Demikian pula dengan basis-basis institusi seperti kampus-kampus di Gorontalo. Anggota Muhammadiyah banyak dan bahkan mayoritas di kampus seperti UNG dan IAIN Sultan Amai. Apalagi ditambah dengan berdirinya kampus Universitas Muhammadiyah Gorontalo.
Hal ini terlihat pada kemajuan Muhammadiyah secara organisasional. Hingga hari ini, secara nasional Muhammadiyah membukukan jumlah Sekolah Dasar (SD) sekitar 1128 unit, Madarsah Ibtidaiyyah (MI) 1768 unit, Sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) 1179 unit, Madrasah Tsanawiyah (MTs) 534 unit, Sekolah Menengah Umum (SMU) 509 unit, Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) 249 unit, Madrasah Aliyah (MA) 171 unit dan 143 Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
Jumlah diatas tentu bukan saja angka semata, tapi juga sebagai bentuk optimisme dan sumbangsih untuk nusa dan bangsa.
Tentunya data antara Muhammadiyah diatas termasuk NU bukanlah menjadi sebuah alasan untuk terus “berbeda”, tapi menjadi titik kolaborasi yang lebih apik dalam membangun Gorontalo. Narasi-narasi terkait perbedaan yang selama ini terjadi tidak bisa dijadikan sebagai pembeda hingga berlawanan arah, tapi menjadi pemacu semangat untuk terus melakukan pengkajian lebih mendalam.
Selamat Milad Muhammadiyah ke 109 (1912), semoga menjadi salah satu obor yang bisa menerangi peradaban Gorontalo. (*)
Leave a Reply