funco.id

Work, Struggle, and Pray

Ancaman Bencana Sampah Gorontalo

Perubahan sosial di Kota Gorontalo terjadi secara drastis, termasuk pendefinisian soal “paango”. “Paango” adalah halaman rumah atau pekarangan.

Dulu, batas “paango” bagian depan adalah batas jalan, bagian kiri, kanan dan belakang berbatasan dengan pekarangan orang lain, bisa juga jalan. Kini, setelah Kota berubah, lebih “modern” dan “maju”, tafsir soal “paango” lebih menyempit. “Paango” ditafsirkan hanya dibatasi oleh pagar rumah, depan pagar rumah yang berbatasan dengan jalan dianggap bukan lagi “paango”, tapi “dalalo” atau jalan.

Seiring waktu berjalan dan ada perubahan tafsir soal batas paango, efeknya pun berantai. Halaman depan pagar rumah yang dianggap bukan “paango”, bukan lagi “urusan” tuan rumah/bangunan, itu sudah urusan publik yang kemudian ditafsirkan sebagai urusan pemerintah.

Tafsir yang berubah itu berimbas pada pengelolaan sampah di luar paango yang dianggap bukan lagi urusan privat, tapi publik (pemerintah). Hal yang sama berlaku pada soal pengelolaan got dan saluran air. Makanya, jika kita berjalan-jalan di seputaran Kota, banyak sampah menumpuk dan berserakan di pinggir jalan, termasuk got dan saluran air yang tidak mengalir karena tersumbat sampah.

Data dari Dokumen Jakstrada (Kebijakan dan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga) Kota Gorontalo tahun 2018 menyebutkan bahwa total timbulan sampah Kota Gorontalo sebanyak 49.939 Ton dengan asumsi produksi sampah per jiwa adalah sebesar 0.7 kg/hari. Dari total timbulan sampah tersebut hanya 26.819 Ton yang terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir. Jadi, ada sekitar 23.120 ton per tahun yang tidak terangkut.

Untuk mengangkut 26.819 Ton ini, dipekerjakan 300 orang petugas kebersihan Kota Gorontalo yang bekerja sejak pukul 05.00. Biaya yang dikeluarkan Pemerintah Kota Gorontalo untuk urusan sampah ini hampir mencapai 6 miliar rupiah/tahun.

Jakstrada Kota Gorontalo ini menjadi bagian urgen dari peta jalan pengelolaan sampah perkotaan, yang juga termasuk dokumen prasyarat utama Adipura.

Karena itu, dalam peta jalan pengelolaan sampah menjadi penting untuk menekankan prioritas pengurangan dan penanganan sampah. Khusus pengurangan menjadi urusan ranah privat (rumah tangga) untuk memulai mengurangi sampah di lingkungan termasuk “paango”. Untuk penanganan menjadi ranah publik atau urusan pemerintah termasuk penyediaan TPS3R, Bank Sampah dan hal hal lainnya.

Maka, kedepan perlu ada penafsiran dan penegasan kembali soal “paango”. Kekeliruan soal tafsir akan memakan biaya yang tidak sedikit. Pelurusan kembali soal tafsir “paango” berefek pada pengelolaan sampah Kota dari publik ke private, sehingga biaya yang harus ditanggung Pemerintah akan bisa diminimalisir, termasuk soal got dan saluran air yang selama ini membuat Kota sering banyak terjadi genangan. Begitu juga dengan cadangan modal sosial-lokal yang mulai menipis huyula sebagai upaya kolektif dalam kebersihan lingkungan.

Konsekuensi mahal akan kita terima sebagai warga Kota kedepan, sebab saat ini saja ada sekitar 23.120 Ton yang tidak terangkut karena keterbatasan armada, tenaga dan biaya. Apalagi misalnya jika tidak ada perubahan pola konsumsi warga dalam memproduksi sampah, maka sampah bisa menjadi bencana Kota Gorontalo di masa akan datang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *