Istilah berduyun-duyun telah lama ditinggalkan dan hampir terlupakan. Tapi, istilah ini kembali populer dan dipraktekkan sejak Ahok menjadi musuh bersama oleh sebagaian umat Islam yang direpresentasikan oleh kelompok kanan. Aksi Bela Islam pada 411, 212 dan kemudian dilanjutkan oleh Reuni 212 telah memungkinkan istilah ini kembali digunakan dan dipraktikkan. Aksi Bela Islam ini lalu dianggap sebagai kemunculan populisme yang berciri Indonesia, dalam hal ini Populisme Islam.
Populisme adalah suatu model pendekatan politik yang menempatkan ‘rakyat kebanyakan’ dan ‘elit yang korup’ dalam posisi antagonistik, dan melihat politik sebagai ekspresi dari keinginan umum rakyat kebanyakan. Dalam prakteknya, populisme lebih menguatkan perasaan “in group” yang kuat dan mempertentangkan “kita versus mereka” secara berhadap-hadapan.
Pada skala global, praktek ini telah berhasil memenangkan Marine Le Pen, Narendra Modi, Duterte dan Trump serta banyak tokoh lainnya.
Dalam praktiknya di daerah, populisme mengganti wajahnya dalam beberapa penampakan, salah satunya adalah dengan mengeksplorasi isu-isu etnis dan agama untuk kepentingan jangka pendek.
Gorontalo yang pada 18 tahun silam dikukuhkan menjadi Provinsi juga tak lepas dari isu-isu populisme. Dibandingkan dengan perjuangan administratif yang dilakukan, perjuangan politik menjadi lebih mengemuka dan berhasil menyita perhatian pusat. Isu perbedaan etnis, marjinalisasi agama dan ketimpangan ekonomi lebih kuat menjadi perekat dan mengkonsolidasi seluruh kekuatan Gorontalo dalam “in group” yang lebih kental.
Puncaknya adalah deklarasi Provinsi Gorontalo di Gelora 23 Januari, dimana masyarakat Gorontalo berduyun-duyun untuk menyatakan keinginannya untuk “bebas dan merdeka”. Tekanan massa yang berduyun-duyun inilah yang memompa semangat juang menjadi lebih kencang.
Semangat “berduyun-duyun” ini lalu mengempis pasca Provinsi terbentuk, semangat yang “in group” tersebut kembali mengecil. Sepertinya, orientasi yang “jangka pendek” inilah yang membuat semangat “in group” bubar dan jalan sendiri-sendiri.
Dalam konteks yang lebih besar, yakni konteks nasional, apa yang menjadi tujuan Aksi Bela Islam 411 dan 212 sempat meredup. Lalu, inisiatif “bersatu” ini direkatkan kembali melalui Reuni 212 dengan menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama.
Jokowi dicoba untuk diasosiasikan seperti Ahok. Aumsi yang keluar saat itu adalah beberapa momentum sebelum Reuni 212, Jokowi berhasil keluar dengan selamat untuk sementara. Akankah setelah Reuni 212 Jokowi bisa “selamat”? Tergantung bagaimana kubu Prabowo mengelola dan memobilisasi opini dan bagaimana pula kubu Jokowi bisa terus bertahan di tengah gempuran kiri-kanan.
Kedepan, isu populisme mulai dicari dan kemungkinan besar akan dimunculkan kembali. Isu populisme dalam konteks tertentu akan mempermurah biaya demokrasi, tapi jika salah kelola akan mengantar negara ke jurang pertikaian. Maka dari itu, pendekatan politik untuk “menang” harus diatur dengan niat yang baik dan lurus, jika tidak akan memakan banyak korban.
Populisme akan menekan biaya demokrasi yang semakin tinggi, jika dikelola dengan baik akan memudahkan mobilisasi orang untuk berduyun-duyun mendukung, tapi sebaliknya jika tidak ditopang oleh kebijakan publik yang normatif, hanya akan melahirkan gelembung “elektabilitas” yang seperti jauh panggang dari api. Selamat memasuki era populisme yang menakjubkan sekaligus mencemaskan.
Leave a Reply