Cahaya
“Kematian bukanlah habisnya cahaya, tapi lampu yang padam karena fajar tiba”
—Rabindranath Tagore
Di Gorontalo, sejak 5-7 tahun terakhir, ketiadaan cahaya atau listrik mati, kini mulai ada istilah black out dan telah menjadi bagian dari sejarah keresahan dan kecemasan warga Gorontalo. Gelap yang diakibatkan oleh ketiadaan cahaya membuat orang gundah gulana. Hujan protes di sosial media pun tak terelakkan.
Walaupun kita lebih banyak “terang” dibanding gelap secara fisik, namun tetap belum bisa menerima gelap walaupun hanya sebentar. Hanya dengan gelap kita akan rindu pada terang. Tanpa mengalami gelap, kita tidak akan berusaha mencari cahaya. Seperti Nabi yang tak kenal lelah menjajakan cahaya ke setiap ruang gelap hati manusia.
Sederhananya, kita sebagai manusia secara intuitif tidak siap dengan adanya kegelapan. Kita tidak mampu secara fisik dan nurani untuk berada dalam kegelapan.
Padahal, kegelapan itu hanyalah keadaan tidak adanya cahaya. Gelap dan terang hanyalah bagian dari efek ada dan tidaknya cahaya. Sehingga banyak yang mengutuk kegelapan.
Jika kita kembali merenung sebentar, hidup kita sebenarnya sedang mengarah kedalam dua hal; hidup yang terang atau hidup yang gelap. Dua hal itu hanya bisa terjadi dengan syarat ada dan tidaknya cahaya.
Keadaan itu hanya bisa ditunjang oleh seberapa banyak dan besar cahaya yang masuk ke dalam hati yang akan menuntun kepada terang dan gelapnya hidup. Semakin besar cahaya dalam hati, semakin akan menerangi jalan hidup, begitupun sebaliknya. Cahaya yang menerangi itulah yang bersumber dari Pemilik Cahaya atau nur al-samawati wa al-ardh (pemilik cahaya di langit dan bumi).
Hikmah tanpa cahaya atau katakanlah gelap bisa jadi adalah sebagai bagian pembelajaran untuk kita semua. Bahwa setiap diri mesti memasuki jalan gelap lebih dulu agar tahu bahwa akan ada jalan terang.
Dalam konteks seseorang beragama, Islam mengenal empat tahapan hati manusia. Kenapa hati? Hati merupakan alat untuk merasakan kesadaran melebihi fungsi kelima indra fisik dan kekuatan rasio atau logika seseorang. Dari sinilah, media sosial kerap memperlihatkan bahwa hati lebih luas dari jagad dan alam raya ini.
Pertama, hati yang gelap. Seseorang yang hati dan jiwanya tidak diterangi oleh siraman ayat-ayat dan firman-firman Ilahiyah, maka hatinya akan mengalami kegelisahan, perasaan bersalah dan kerap memamerkan dendam pada orang lain. Hasrat hidupnya dikendalikan oleh nafsu yang membawanya pada kebutuhan ego dan nafsu duniawi.
Lalu obatnya apa? Islam pun memberikan pedoman sederhananya namun sulit dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kemauan kuat dan konsisten melaksanakannya. Dimulai dari memperbanyak membaca Qur’an dan merenungkannya, rajin mengosongkan perut atau puasa, mendirikan shalat (atau dalam anjuran ahli Qur’an yakni shalat malam hari), merendahkan diri dan menundukkan pandangan, dan bergaul dengan orang-orang salih.
Kedua, hati yang putih. Walaupun manusia tidak ada yang bersih dari noda dan dosa, tapi upaya menggosok dan menempa jiwa untuk selalu di jalan yang diridhai-Nya akan membuat hati bersih dari kotoran yang berpotensi menggerogoti hati. Di kegelapan tanpa cahaya ia bisa melihat dengan hati sanubarinya dan mengandalkan kebersihan hati dan jiwa untuk melihat keadaan dan fenomena yang terjadi. Kondisi hati seperti ini belum ideal dalam Islam. Ia masih terkategorisasikan ke dalam hati yang “masih kasar” dan si pemiliknya kerap menampilkan kebaikan dengan cara-cara yang tidak elegan. Salah satu efek dari hati ini bersifat fanatik dan menyukai hal-hal fisik. Bahkan dalam konteks beragama, ia masih berpotensi untuk menyuarakan kebenaran kelompok dan organisasinya bukan kebenaran hakiki dan yang semestinya dia suarakan ke publik.
Ketiga, hati yang bening. Berbeda dengan hati yang putih. Seseorang yang memiliki hati bening ia mampu memancarkan cahaya tapi seperti pantulan. Sebab ia tidak memiliki basis dan sumber cahaya sendiri yang dia produksi setiap harinya. Ia kerap diibaratkan seperti lensa yang dapat menyesuaikan intensitasnya.
Dan keempat, hati yang benderang. Inilah kondisi hati yang diidamkan oleh para sufi yang terlepas dari ikatan duniawi. Melepaskan kemelekatan duniawi dan menuju hakikat hidup. Ia mampu memproduksi cahaya dan disemburkan kepada sekelilingnya dan sekitarnya. Hati ini sangat stabil sebab ia akan menjadi penerang yang menerangi kegelapan seseorang di dunia ini.
Kita semua berharap diterangi oleh cahaya-Nya untuk menerangi hidup kita yang sedang berjalan ini. Cahaya-Nya adalah cahaya mutlak atau biasa pula disebut ‘nur fauqa nur’ atau cahaya di atas cahaya. Karena itu, jangan biarkan diri kita berada di tempat tanpa cahaya, sebab bayangan pun akan meninggalkan kita dalam kondisi itu.
Leave a Reply