Seratus persen data dari seluruh Tempat Pemungutan Suara telah diinput, semua orang kini bisa melihat langsung melalui website Komisi Pemilihan Umum.
Pada tahun ini, ada tiga daerah di Gorontalo yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah yakni Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Tiga daerah ini juga melakukan Pilkada sebelumnya di tahun 2015.
Dari hasil Pilkada di tahun 2015, ada beberapa nama yang juga ikut pada Pilkada 2020. Nama-nama tersebut antara lain Nelson Pomalingo, Hamim Pou, Rustam Akili, Tonny Junus, Ismet Mile. Mereka semua adalah juga calon Bupati di tahun 2015. Di tahun 2020, mereka tetap maju dan hanya berganti pasangan.
Di Pohuwato sendiri, memang semuanya adalah nama baru, namun kehadiran pasangan Syaiful Mbuinga dan Suharsi Igirisa tak bisa dilepaskan dari peran Syarif Mbuinga, bupati incumbent Pohuwato yang juga adik kandung dari Syaiful.
Lalu apa yang menarik jika kita membandingkan data hasil Pilkada tahun 2015 dan data Pilkada tahun 2020?
KABUPATEN GORONTALO
Jika kita urai per Kabupaten, misalnya kita mulai dari Kabupaten Gorontalo, Nelson Pomalingo dulunya berpasangan dengan Fadli Hasan di tahun 2015, keduanya mengemas 65.255 suara (30.23 %). Di tahun 2020, Nelson bergandengan dengan Hendra Hemeto dengan perolehan 93.196 suara (40.4%). Ada kenaikan 27.941 suara dan persentase naik sebesar 10.17 %.
Nama berikut adalah Rustam Akili. Di Pilkada 2015, dia berpasangan dengan Anas Yusuf, mereka meraih 64.409 suara (29.54%) dan di Pilkada 2020 Rustam menggandeng Dicky Gobel dengan total perolehan 64.664 suara (28.1%). Jika dibandingkan data tahun 2015 dan data tahun 2020, Rustam hanya bisa menambah 255 suara namun berkurang dari segi persentase menjadi – 1.44 %.
Tonny Junus juga adalah peserta Pilkada tahun 2015, dia berpasangan dengan Sofyan Puhi, keduanya meraih 63.242 suara (29.3%), namun pada tahun 2020 Tonny yang menggandeng Daryatno hanya bisa mengemas 57.788 suara (25.1%). Suara Tonny berkurang 5.454 suara dan penurunan persentase sebesar 4.2 %.
BONE BOLANGO
Dari empat pasangan yang bertarung di 2020, ada dua nama yang ikut bertarung pula di tahu 2015 yakni Hamim Pou dan Ismet Mile.
Hamim pada tahun 2015 berpasangan dengab Kilat Wartabone, keduanya meraih 24.893 suara (26.26%). Tahun 2020, Hamim menggandeng Merlan Uloli dengan perolehan suara sebesar 43.048 (42.3%). Ada kenaikan 16.04 % pada tahub 2020 dibandingkan tahun 2015 lalu. Jumlah suara pula naik tajam 18.155 suara.
Ismet Mile sendiri saat Pilkada 2015 berpasangan dengan Ishak Liputo mengemas 16.208 suara (17.10%). Kini setelah berpasangan dengan Sukandi Talani suaranya turun menjadi 15.272 (15%). Ada penurunan 936 suara (- 2.1%).
POHUWATO
Di Pohuwato, Syarif sebagai incumbent tak bisa maju lagi, yang maju adalah Kakaknya Syaiful Mbuinga yang bergandengan dengan Suharsi Igirisa.
Tahun 2015, Syarif Mbuinga dan Amin Haras bertarung untuk kedua kalinya setelah menjabat satu periode (2010-2015), keduanya maju dan memenangkan Pilkada 2015 dengan perolehan suara sebesar 52.835 (66.86%).
Di tahun 2020, Syarif dan Amin mendukung pasangan Syaiful Mbuinga dan Suharsi Igirisa, namun total perolehan suara keduanya tidak sebesar perolehan suara Syarif-Amin di tahun 2015 lalu. Syaiful-Suharsi pada 9 Desember lalu mengoleksi 37.190 suara (41.1%). Ada perbedaan sebesar 15.645 suara, demikian pula dari sisi persentase memang agak jauh rentang perbedaannya yakni – 25.76 % dibandingkan perolehan suara Syarif-Amin di tahun 2015 silam.
APA YANG MENARIK?
Dari perbandingan data tahun 2015 dan tahun 2020, bisa disimpulkan beberapa hal ;
Pertama, posisi Hamim, Nelson dan Syarif sebagai incumbent (petahana) tak bisa diangga enteng. Ketiganya dengan masing-masing gaya memimpin, berikut prestasi yang berhasil mereka tunjukkan selama lima tahun (2015-2020) membuat rakyat puas.
The Gorontalo Institute beberapa kali melakukan survey kepuasan publik di Gorontalo, sekitar 70-80 % publik merasa puas dengan kinerja incumbent. Dari total kepuasan tersebut, kepuasan di bidang konomi menjadi alasan penting yang mengaruhi opini publik, selain itu kepuasan di bidang pelayanan pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Kepuasan ini jika dihubungkan dengan keterpilihan kepada figur incumbent atau yang didukung incumbent selalu hasilnya linier. Semakin tinggi kepuasan publik terhadap pemerintahan, tingkat elektabilitas incumbent juga akan tinggi, demikian pula yang didukung incumbent.
Di tiga daerah yang melaksanakan Pilkada, kepuasan terhadap Nelson, Hamim dan Syarif sangat tinggi. Khusus Pohuwato, kepuasan publik terhadap kinerja Syarif ikut menaikkan (mempertahankan) suara Syaiful yang didukung Golkar dan Gerindra. Memang, walaupun saudara kandung, namun Syaiful bukanlah Syarief, dalam artian ada banyak perbedaan soal pengalaman, performance dan juga dukungan jaringan, makanya perolehan suaranya tidak sebesar perolehan suara Syarief di tahun 2015 silam. Di Pohuwato sendiri, dengan dinamika politik yang khas daerah sana, dukungan solid ke Syarief di 2015 lalu terpecah ke beberapa pasangan lain, tidak utuh ke Syaiful.
INCUMBENT SELALU MENANG, TAPI INCUMBENT YANG MANA?
Dalam sejarah Pilkada di Gorontalo, memang incumbent itu jarang kalah. Jika misalnya kalah, itu lebih disebabkan karena faktor teknis administratif seperti yang terjadi di Kota Gorontalo dan Kabupaten Boalemo. Kasus kekalahan Ismet Mile di tahun 2010 silam karena faktor “domestik” Ismet, disisi lain gabungan suara perlawanan Tapa – Suwawa – Bone Pesisir yang meruncing. Sisanya, incumbent selalu berhasil menang.
Tetapi ada yang menarik, apakah incumbent yang dimaksud itu adalah Bupati dan Wakil Bupati? Jawabannya tidak. Di dinamika politik Gorontalo, incumbent yang selalu memenangkan Pilkada adalah Kepala Daerah bukan Wakil Kepala Daerah.
Coba perhatikan sejarah Pilkada di Gorontalo, rata-rata Wakil Kepala Daerah yang maju bertarung di Pilkada selalu kalah. Memang ada pengecualian seperti Indra Yasin dan Hamim Pou, mereka berdua memenangkan Pilkada setelah menjadi Pejabat Bupati karena saat itu Rusli Habibie (Bupati Gorut) maju ke Pilgub dan jadi. Kalau Hamim karena Haris Nadjamudin secara administratif diberhentikan lalu meninggal dunia. Sisanya, sebagian besar Wakil Kepala Daerah, apa itu Wakil Bupati maupun Wakil Walikota selalu kalah.
Mengapa mereka sering kalah? Apakah itu menjadi semacam mitos? Atau bisa dijelaskan secara akademis?
Wakil Kepala Daerah itu hanya bertugas jika diminta atau diperlukan, atau ada penugasan khusus dari Kepala Daerah. Pada taraf administrasi dan keuangan, posisi Sekretaris Daerah malah lebih punya power dibandingkan dengan Wakil Kepala Daerah, makanya banyak Sekda yang maju dalam Pilkada selalu berhasil memenangkan pertarungan, sebut saja Medi Botutihe (mantan Sekda Kab Gorontalo, maju pemilihan Walikota walaupun pemilin di DPRD), David Bobihoe (Mantan Sekda Kab Gorontalo), Haris Nadjamudin (Sekda Kab Gorontalo).
Bagi Wakil Kepala Daerah memang dilematis, mencoba berupaya berperan namun tidak bisa melampaui Kepala Daerah, karena bisa saja dianggap tidak etis (jamo hinduwa). Bertanya pun bisa dianggap terlalu melampaui kewenangan. Jadi posisi Wakil itu menyulitkan secara politis dan membangun jaringan politik serta membangun infrastruktur finansial, sehingga secara faktual banyak Wakil Kepala Daerah yang tumbang dalam Pilkada.
Uraian ini juga tidak berupaya “mematikan” ikhtiar para Wakil Kepala Daerah yang baru terpilih ataupun sedang menjabat, tulisan ini adalah pemantik semangat bagi mereka-mereka tersebut agar selalu “tidak merasa nyaman” dengan posisinya saat ini. Perlu upaya ekstra namun harus mempertimbangkan unsur etika politik, sebab Bupati atau Kepala Daerah bukan saja sebagai pimpinan administratif dan pemimpin politik, tapi juga sebagai Wuleya lo Lipu yang emosi kulturalnya sangat kuat sehingga perilaku yang ditampilkan Wakil Kepala Daerah harus yang bersifat “totonggade”.
PARTY-ID
Hasil Pilkada tahun ini juga menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan terbukti menjadi faktor penting dalam kemenangan Pilkada di Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo dan Pohuwato.
Kepuasan publik adalah modal sosial-politik yang sangat kuat dibandingkan dengan jaringan serta mobilisasi partai politik. Hal ini terlihat dari survey yang pernah dilakukan oleh The Gorontalo Institute pada tahun 2019 dan tahun 2020, party-ID (party identification) yakni derajat kedekatan warga dengan partai terus menurun hingga mencapai angka dibawah 20 %.
Hal ini diperkuat juga oleh survey Saiful Mujani Research Center (SMRC) yang menyebutkan party-id di Indonesia hanya sebesar 11.7 %. Bahkan, party-id di Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain adalah party-id terendah di dunia.
Kondisi ini menjadi penting bagi partai politik di Gorontalo agar kinerja kelembagaan jangan hanya mengikuti momentum, yakni dari Pilkada ke Pilkada atau Pemilu ke Pemilu, namun menjadikan hari sebagai “day to day politics”, setiap hari harus bekerja dalam konteks pengabdian pada warga, dan melayani konstituen secara kelembagaan.
PENUTUP
Tentu uraian ini adalah “snapshot” atas dinamika sosial politik Gorontalo yang berkaca dari hasil Pilkada 2015 dan Pilkada tahun 2020. Tulisan ini tidak mengurai secara “indepth” dalam konteks etnografi politik lokal. Banyak faktor-faktor yang bersifat tersembunyi yang perlu didalami dalam rangka membaca dinamika lokal.
Pilkada yang barusan terjadi adalah momentum reflektif untuk menjadi titik tolak dalam memperbaiki kualitas, apakah itu kualitas diri elit politik, kualitas kelembagaan pemerintahan daerah, kualitas kelembagaan partai politik hingga pada muaranya akan memperbaiki kualitas elektoral yang hingga kini masih di level prosedural, belum pada tahap yang substantif
Leave a Reply