funco.id

Work, Struggle, and Pray

Ebu  

Di sepotong sore yang mendung, di sudut Makassar yang keras. Seorang pelajar mengetik rapi petisi, semacam surat protes, kepada penguasa pelabuhan Makassar kala itu, yang rata-rata berkebangsaan Belanda.

Ebu adalah nama kecil dari Thayeb Mohammad Gobel, manusia Gorontalo yang kemudian berhasil menaklukkan Indonesia.

Ebu adalah pelajar yang keras, ia memberontak terhadap keadaan saat itu, di saat Indonesia baru tiga tahun berdiri. Ia mengetik petisi untuk memperjuangkan nasib kaum buruh yang kala itu berupah rendah. Ebu di kala itu baru berusia 17 tahun. Ia dielu-elukan buruh pelabuhan Makassar atas aksi heroiknya. Mereka takjub pada sosok muda Ebu. Berani menentang tirani yang bercokol selama 350 tahun di bumi pertiwi.

Bibit keteladanan ini yang membawa Ebu memulai karir di Jakarta, pusat Indonesia. Ebu pun memulai usaha dengan membangun PT. Transistor Radio Manufacturing Co di usianya yang menginjak 24. Bermodal 5 juta rupiah, ia memulai memproduksi Radio Tjawang. Hampir sejuta radio Tjawang terjual, Indonesia pun tercerdaskan.

Di usia 27, Ebu menjalin kerjasama dengan Matsushita Electric Industrial Co. Kala itu, Matsushita sudah memasuki usia uzur 64 tahun. Bagi Matsushita, usia bukang penghalang, namun kepercayaan. Ia melihat itu dalam sosok Ebu muda.

Kerjasama pun berbuah hasil. 10 ribu televisi diproduksi jelang Asian Games ke-4 tahun 1962, di Jakarta. Indonesia bergemuruh. Rakyat bisa menyaksikan pertandingan olahraga dengan mata kepala sendiri.

Ebu yang berdarah asli Gorontalo menjadikan filsafat pohon pisang sebagai prinsip dirinya. Maklum, hampir setiap rumah di Gorontalo ditanami pohon pisang. Bagi Ebu, manfaat pisang luar biasa, semua bisa dimanfaatkan, dan bisa ditanam dimana saja. Pisang pun sangat cepat pertumbuhannya dan bisa segera berkembang.

Prinsip memberi manfaat bagi semua orang ini menjadikan dirinya tidak cukup hanya dengan pengusaha. Ebu pun memasuki ruang politik. Dia melabuhkan dirinya dalam Partai Serikat Islam Indonesia, sesuai dengan “arah” idolanya; H.O.S Tjokroaminoto.

Tjokro adalah sosok idola dan pahlawan bagi masyarakat Gorontalo, sebab Tjokro pernah berkunjung ke Gorontalo di tahun 1920 an. Hingga Syarikat Islam pun menjadi organisasi terbesar di Gorontalo kala itu. Tjokro menebarkan benih perjuangan. Salah satu yang dipengaruhi pemikiran Tjokroaminoto adalah Nani wartabone, satu-satunya Pahlawan Nasional asal Gorontalo. Di tahun-tahun Tjokro memimpin Syarikat Islam, Nani sedang belajar di Surabaya, kota tempat Tjokro menggembleng calon pemimpin Indonesia. Konon, persahabatan Nani Wartabone dan Soekarno bermula dari Surabaya, kota muara para pahlawan bangsa ini. Nani adalah pembela Soekarno, di tahun 1957 saat Sulawesi bergolak dengan Permesta, hanya Gorontalo yang tidak ikut Permesta. Itu tidak lain karena buah persahabatan Nani dan Soekarno.

Berbeda dengan Nani yang memilih haluan PNI, Ebu melabuhkan diri ke PSII, hingga dia didapuk menjadi Wakil Ketua DPR/MPR. Lalu Ebu masuk Partai Persatuan Pembangunan hingga menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat. Hingga PPP saat itu sempat “menguasai” Gorontalo.

Ebu yang masa kecilnya diawali oleh perceraian kedua orang tuanya, sempat mengalami masa yang sulit. Ebu harus hidup dengan menumpang dari satu rumah ke rumah lain untuk menyambung hidup. Ebu pun harus hidup dengan pamannya di Gorontalo dan kemudian melanjutkan sekolah di Makassar dengan menginap di rumah pamannya yang lain. Biar berkalang tanah, asalkan tidak membawa malu Gorontalo. “Penu de oputia lo tulalo, bo dila oputia lo baya”. Itulah prinsip Gorontalo yang ia pegang teguh dalam sanubarinya.

Dari Ebu kita banyak belajar soal keteladanan, kerja keras, dan hidup yang memegang prinsip. Kehidupan Ebu mengajarkan bahwa hidup bukan proses yang instan. Tak ada hasil yang menghianati proses.

Pun begitu dalam politik, Ebu menjalani kehidupan politiknya dengan teguh. Sebagai warga Syarikat Islam, ia memegang erat apa yang Tjokroaminoto pernah sampaikan; Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Bahwa dalam politik, ilmu, tauhid dan siasat adalah satu jalinan yang utuh. Bukan tercerai-berai.

Prinsip politik Tjokroaminoto yang dijalankan Ebu adalah cermin bagi politik hari ini. Bagi politisi hari ini, siasat yang lebih utama dibandingkan dengan ilmu apalagi tauhid. Yang lebih nista lagi jika siasat yang dilandasi oleh uang semata. Ini yang berbeda dengan prinsip Ebu yang dilandasi semangat Tjokroaminoto.

Bagi Tjokro, dan kemudian dijalankan oleh Ebu, tauhid adalah utama. Sebab dengan tauhid yang kuat, ilmu pasti akan bisa diamalkan dengan benar. Jika ilmu yang berlandaskan tauhid, pasti akan mengedepankan siasat yang beradab dan berakhlak seperti diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Ebu adalah potret bagi manusia Gorontalo hari ini. Ia adalah sosok masa lalu yang mesti “dihidupkan” dalam praktek politik hari ini. Politik Gorontalo saat ini adalah politik yang baku bunuh, baku sandera, baku injak, baku gergaji. Potret itu jauh dari apa yang Ebu cita-citakan untuk Gorontalo.

Ebu meninggal dalam usia 53 tahun. Dia meninggalkan sejarah keteladanan ekonomi dan politik. Dalam keadaan itu, Ebu bangga bisa meninggalkan sejarah keteladanan, bukan kekayaan yang menumpuk dan bisa membeli apapun. Ebu dalam liang lahatnya bangga bisa menjadi contoh bagi semua kalangan, termasuk bisa memberi manfaat bagi banyak orang.

Semoga dia berada dalam keberkahan pada pusaranya. Al Fatehah untuk Ebu Gobel.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *