Sadakah di Gorontalo lama kelamaan menjadi tradisi. Dalam Bahasa Indonesia disebut sedekah. Bagi sebagian kalangan, sadakah itu memiliki garis vertikal, sadakah diperuntukkan bagi siapapun yang dianggap bukan elit.
Bagi elit, bagi-bagi sadakah dianggap menjadi wajib. Setiap datang ke keluarga yang miskin ataupun secara status keluarga lebih di bawah, mesti ada sadakah. Status biasanya ditentukan jabatan, marga, kedudukan, kepemilikan, akses, dan lainnya. Semakin kurang nilai pada status, semakin dia berpeluang mendapatkan sadakah.
Dalam politik lokal, elit yang biasanya pejabat, kepala daerah, atau yang memiliki akses ke kekuasaan, biasanya menebar sadakah. Bagi elit yang tidak melakukan ini, dianggap “mohengu”, “bunggili” dalam arti tidak ada faedahnya. Solidaritas, harmoni dan kebaikan dianggap minus jika tidak ada “alas-alas” atau “kuti-kuti”.
Lama kelamaan, tradisi sadakah yang semestinya untuk golongan fakir miskin, berubah menjadi tradisi dalam setiap even politik lokal. Money politics pun diselubungi dengan tradisi ini. Sadakah menjadi pintu masuk money politics.
Sadakah menjadi habitus bagi rakyat Gorontalo. Bagi sebagian besar rakyat, bagi-bagi uang bukan money politics, tapi bagi-bagi sadakah semata. Ada legitimasi teologis dan kultural dalam hal itu. Bagi elit, legitimasi ini pun dijadikan sandaran untuk menebar maksud.
Maka gerakan menolak politik uang bisa mengalami kendala serius dalam konteks filosofi, teologi, dan sosiologi Sadakah masyarakat Gorontalo. Tradisi yang telah berurat ini mesti dipatahkan, jika tidak, malah akan membuka ruang yang lebih besar pada supply and demand dari korupsi itu sendiri.
Apalagi jika ditambah dengan pola rent-seeking yang semakin luar biasa. Pola rent-seeking dalam konteks lokal diperhalus menjadi tradisi “mahar”. Tentu jika gerakan anti korupsi dan politik uang yang dibangun berdasarkan pada emosi semata akan patah dalam waktu singkat.
Belum lagi ditambah dengan kultur institusi pengambil kebijakan di Gorontalo yang bergerak dengan “minyak pelumas” tertentu. Minyak pelumas yang dimaksud adalah korupsi. Beberapa institusi pengambil kebijakan tidak akan bergerak dinamis jika tidak ada minyak pelumasnya. Banyak urusan tidak akan selesai jika di atas meja, urusan malah akan selesai di bawah meja. Urusan-urusan publik juga tidak ada akan selesai lewat pintu depan, urusan hanya akan selesai melalui pintu belakang. Sehingga, korupsi justru membuat semua urusan bisa berfungsi secara normal. Parahnya, korupsi menjadi instrumen yang menormalkan keadaan dari tidak lancar menjadi lancar.
Mesti didorong pula semacan instrumen baru dalam mengatasi ini. Dalam bahasa pengukuran; if you could define, you could measure and if you could measure, you could manage. Karena itu, korupsi mesti bisa diukur dan terukur secara reliable dan valid dalam konteks Gorontalo, jika tidak setiap upaya me-manage pasti kandas.
Maka, energi anti korupsi harus dikelola dengan baik, jangan ditumpahkan sekaligus. Deretan kasus korupsi masih banyak yang harus diawasi dan dipelototi. Jika energi perlawanan ini tidak dikelola dengan baik, maka boleh jadi apa yang dikatakan Pierre Bourdieu mengenai habitus akan terjadi. Habitus terhadap korupsi sangatlah bahaya, yakni akan lahir situasi dan kondisi dimana korupsi menjadi sesuatu yang biasa, normal dan wajar. Jika energi perlawanan tidak dikelola dengan baik, maka perlawanan di tahap berikut akan sangat mudah diratakan dengan tanah. Publik yang telah capek akhirnya menyerah dan membiarkan keadaan terjadi begitu saja. Korupsi pun menjadi tampak normal, biasa dan bahkan mungkin sah terjadi.
Gerakan anti korupsi dan tolak politik uang mesti digalakkan untuk kebaikan masa depan Gorontalo. Jika diam, maka sama saja dengan membiarkan Gorontalo menjadi KORUPSIPOLITAN.
Leave a Reply