Konon, salah seorang yang bergelar haji atau yang terkenal di Gorontalo adalah Haji Bu’ulu. Haji Bu’ulu ini sangat terkenal alim, salih dan menjadi tempat orang untuk belajar agama. Haji Bu’ulu juga memiliki beberapa Guru, di antaranya di Banjar (Kalimantan Selatan), di Makkah dan di beberapa daerah lainnya.
Dalam ingatan masyatakat Gorontalo, dulu di Gorontalo sempat terjadi kisah yang konon membuat “heboh” tentang kepribadian Haji Bu’ulu. Ia digelari Haji Bu’ulu karena pada saat musim haji di bulan Zulhijah, ia naik haji mengendarai Rusa dari Gorontalo menuju Makkah.
Saat ini, orang Gorontalo yang berniat naik Haji harus menunggu beberapa tahun. Per tahun 2017, kuota haji untuk Gorontalo hanya 981 orang. Itu belum terhitung dengan daftar tunggu 8.567 calon jamaah haji yang sudah mendaftar. Artinya, daftar tunggu mencapai 11 tahun. Gorontalo termasuk daftar tunggu terpendek di Indonesia, sama dengan Maluku, dan Sulawesi Utara. Di daerah lain, daftar tunggu lebih lama lagi. Warga Aceh harus menunggu seperempat abad atau 24 tahun. Kalimantan Selatan 29 tahun dan di Sulawesi Selatan hampir setengah abad, yakni 39 tahun.
Dua kisah diatas menarik untuk dilihat lebih jauh, apalagi dalam konteks Pilpres 2019 yang sempat hangat soal diskusi tentang Haji.
Disamping banyak kisah klasik dan peristiwa menarik kala itu, soal haji juga menjadi topik menarik dalam pusaran politik di Indonesia, tepatnya Pilpres 2019. Gagasan kedua kandidat soal haji baik antara Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno cukup beragam.
Jokowi-KMA kemarin melobi Raja Salman untuk menambah kuota Haji Indonesia sebesar 10 ribu kuota dari kuota pertahun yang mencapai 220 ribu calon jamaah haji dengan total 4 juta orang jamaah haji yang masuk daftar tunggu. Itu artinya, daftar tunggu tinggal 3.990.000 jamaah haji. Sedangkan Prabowo-Sandiaga Uno merencanakan membangun Bank Tabungan Haji sebagai alternatif dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang dibentuk Jokowi tahun 2018.
Kedua pasangan pun “memanfaatkan” minggu tenang untuk pergi ke tanah suci dalam rangka melakukan umroh, baik Jokowi maupun Sandiaga.
Berbicara soal Haji, saya pun teringat film Le Grand Voyage. Sebuah film yang luar biasa dan mampu menguras emosi soal perjalanan haji. Saya memberi poin 8 sampai 10 untuk film ini.
Dalam film Le Grand Voyage, haji bukan saja tuntutan bagi umat Islam, tapi juga adalah kebahagiaan. Haji adalah perjalanan ruh. Bagi seorang Mohamed Majd (ayah Reda dalam film Le Grand Voyage) bahwa haji adalah perjalanan agung seorang manusia Muslim, bukan sebagai pelengkap semata. Sama halnya dengan prinsip Haji Bu’ulu yang terkenal itu. Haji adalah perjalanan ketakwaan, bukan perjalanan politik, apalagi tamasya.
Karena itu, menggugah kesadaran soal haji khususnya bagi umat Islam di Indonesia menjadi sangat penting. Dalam konteks makro, kebijakan pengelolaan dana haji selama ini seperti pengelolaan urusan dagang, yang dihitung adalah soal untung dan rugi dalam hal pengelolaan. Bukan soal bagaimana orang bisa berhaji secara murah, nyaman, dan tidak perlu masuk daftar tunggu hingga seperempat bahkan setengah abad.
Kata-kata Mohamed Majd dalam perjalanan darat menuju Mekah di film Le Grand Voyage menjadi penting untuk kita ambil hikmahnya; “Saat air laut naik ke langit, rasa asinnya hilang dan murni kembali. Air laut menguap naik ke awan. Saat menguap, ia menjadi tawar”.
Leave a Reply