Kata “kafir” di Gorontalo, biasanya dipadankan dengan istilah yang dikreasi sendiri oleh masyarakat Gorontalo. Kata “kafir” di Gorontalo biasa diganti dengan kata “bulawahu”, “moopa”, “jaa tiluna”, “mongala bo*” dan lain sebagainya. Ada juga kata “kapiru” yang lebih mendekati bahasa aslinya.
Kata-kata itu tidak saja ditujukan untuk yang diluar Islam, tapi yang paling sering malah ditujukan bagi kalangan Muslim yang secara syariat melenceng.
Berbeda dengan kata “kafir”, khusus kata “Yahudi”, orang Gorontalo menggunakan kata itu untuk sesuatu yang negatif. Di Gorontalo, kata “Yahudi” adalah bagian dari bahasa cacian, makian dan sebagai kata “sifat” yang buruk. Tak ada konotasi yang positif soal Yahudi di Gorontalo.
Contohnya; “Nde te Yahudi boti eh!” atau “Japotihutu madelo Yahudi yi’o botiye” atau “Bo Yahudi yi’o botiye am” atau “Jaomakeya teeya wuto’o lo Yahudi uti” dan “mahemo potolo Yahudi poli tingoli botiye am”. Bahkan ada istilah “mo mate Yahudi”.
***
Peristilahan di Gorontalo semuanya memiliki sebab-akibat dan konteks sejarah yang mengitarinya, tak terkecuali pada empat peristiwa sejarah yang menancap dalam memori masyarakat Gorontalo.
Gorontalo menjadikan Islam sebagai identitas dirinya, baik di versi tahun 1200 an maupun di versi tahun 1595, masuk dan kemudian menjadi agama resmi kerajaan, karena disyiarkan dengan akhlak. Pembawa Islam yang sebagian besar dari Hadramaut, mempraktekkan Islam dengan keteladanan sikap, dan menawarkan solusi atas agenda ekonomi serta menjadi ujung tombak penyelesaian masalah warga di Gorontalo kala itu. Hingga ada kesadaran kolektif untuk memilih Islam sebagai pilihan dan keyakinan.
Kuatnya Islam di Gorontalo yang sudah tertanam dan mengakar di sanubari orang Gorontalo membuat kolonial Belanda agak kerepotan dalam misi keagamaan mereka. Hingga pada akhir masa penjajahan, jumlah orang berpindah ke selain Islam, hampir tidak terdengar.
Kuatnya Islam di Gorontalo adalah bagian dari pemantik momentum kolektif di 23 Januari 1942, Permesta 1957, PKI 1965, hingga pembentukan Provinsi Gorontalo tahun 1999-2001. Dalam 4 (empat) momentum tersebut, framing-nya adalah Islam vs non-Islam. Di semua momentum itu, Islam bukan saja simbol, tapi juga spirit yang menggerakkan perlawanan orang Gorontalo.
Istilah-istilah lokal pada paragraf awal di atas adalah pembingkai dari kesatuan orang Gorontalo untuk bersatu dan melawan, khususnya di empat contoh momentum yang disebutkan diatas.
Redupnya penggunaan bahasa Gorontalo saat ini tentu bisa mengikis sedikit demi sedikit identitas di atas, dan jika lebih redup lagi tentu akan berpengaruh signifikan pada kebertahanan Islam di Gorontalo.
Leave a Reply