Gorontalo adalah jazirah yang berikhtiar untuk disebut sebagai Serambi Madinah. Ada terselip doa dalam ikhtiar itu. Ikhtiarnya agar peradaban Gorontalo minimal bisa meneladani kehidupan di Madinah, kota tempat Nabi Muhammad memproklamirkan sekaligus mempraktikkan serta mewujudkan peradaban yang berakhlak tinggi dan mulia.
Cita-cita mulia tersebut lalu mewujud dalam agenda perjuangan sejak era kolonial. Banyak darah yang tumpah di tanah ini, ada ribuan batang kepala yang ditebas, dan ribuan liter air mata yang bercucuran, untuk tujuan mulia itu. Menegakkan Gorontalo di atas “adat yang bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah”.
Hingga pada penghujung abad 20, keran otonomi dibuka, dan Gorontalo pun diarahkan menjadi teritori yang mandiri dan otonom, bebas dari kungkungan Minahasa. Agenda semua kalangan adalah mem-provinsikan Gorontalo, semua potensi dan sumber daya dimobilisasi dan dikerahkan untuk itu. Tak mengenal strata dan status, semua beragendakan yang sama; Provinsi Gorontalo.
Gorontalo di Masa 1.0
Gorontalo apapun nanti, dan setelah itu, pokoknya mesti jadi Provinsi dulu. Gorontalo mesti pisah dari Minahasa. Gorontalo saat itu adalah zaman Gorontalo 1.0, berorientasi kepada product-centric dan institutional centric. Tujuan itupun berhasil dan membuat provinsi terbentuk hingga kini dikenal Provinsi Gorontalo. Setelah Provinsi terbentuk, bagi-bagi kekuasaan pun terdistribusi, walaupun belum secara merata dan adil. Gemilang sekaligus juga menggelembung. Gelembung dalam artian masih sebatas citra seperti balon.
Gorontalo di Masa 2.0
Pada zaman itu, upaya untuk mengembalikan kebangggaan akan identitas kegorontaloan yang “berhamburan” sesaat masih dengan Sulawesi Utara menjadi sesuatu yang sangat penting. Rakyat sedikitnya bisa bernafas enak. Pada zaman itu, Pemerintah berusaha meraih pikiran dan hati publik.
Sayangnya, pendekatan ini secara implisit bahwa publik adalah target pasif. Publik dianggap puas dengan gelembung citra. kerja-kerja negara masih bersifat jangka pendek. Masih sebatas public-centric. Zaman itu adalah zaman Gorontalo 2.0.
Gorontalo di Masa 3.0
Memasuki era 3.0 yang lebih kompleks, dengan tafsir soal politik lokal yang lebih dinamis. Gorontalo 3.0 adalah era pemenuhan “perut” elit politik yang sangat brutal.
Gorontalo 3.0 adalah juga kondisi kompleks di tengah krisis global yang di depan mata, target penerimaan pajak yang rendah, pemangkasan anggaran yang besar, kriminalitas meningkat, mutu pendidikan semakin rendah walaupun angka partisipasi naik. Pada keadaan yang sama, penyakit menjadi pandemi, kemiskinan menggurita, kerusakan lingkungan terus terjadi.
Seturut dengan itu, negara ini telah dengan berani menyepakati masuknya modal yang luar biasa besar dengan diikuti oleh pemaksaan untuk penyesuaian regulasi agar bisa sesuai dengan selera pasar. Di level makro, kebudayaan Gorontalo berada di tubir peradaban, tak jelas mengarah kemana. Semua bersifat simbolik, penuh gempita dan mesti diiringi baliho serta tepuk tangan. Memasuki “palung” peradaban ini, banyak gedung-gedung bersejarah terancam dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Seperti tak ada rasa syukur akan identitas kesejarahan Gorontalo di masa silam.
Pada kondisi yang lain, perebutan kekuasaan melalui pesta lima tahunan seperti perayaan pesta bandit dan begundal yang tak punya perasaan. Demokrasi dikangkangi untuk kepentingan segelintir orang. Hasilnya apa? Pesta pora demokrasi hanya melahirkan elit politik yang kerjaannya hanya memburu penghargaan dan tepuk tangan. Tak ada niat baik untuk memperbaiki daerah ini.
Gorontalo di Masa 4.0
Gorontalo 4.0 adalah agenda yang merayakan aspirasi, nilai-nilai dan human spirit. Pendekatan pembangunan tidak bisa fisik semata, apalagi hanya berorientasi “mencapai target serapan anggaran”. Mesti lebih dari itu.
Gorontalo 4.0 adalah agenda untuk masa yang bergolak. Prinsip masa ini dibentuk dari segitiga faktor; partisipasi yang semakin aktif dan horizontal (digital to konvergen), paradoks globalisasi, dan semakin kreatifnya kaum milenial. Dalam saat yang sama, negara masih dikelola oleh generasi X dengan pola berpikir yang analog.
Gorontalo 4.0 adalah masa dimana new wave technology menjadi kekuatan penggerak. Inti gerakan ada pada values-driven. Values yang bagaimana? Dan seperti apa? Metodenya seperti apa? Values yang dimaksud adalah kumpulan modal sosial lokal Gorontalo yang mesti digali kembali; huyula, bilohe, tolianga, hulunga, himbunga, timoa, depita, bayawa, bubaya, hiyo, palita, tiayo, heyiya, dan banyak modal sosial lainnya.
Prinsip lokal di atas adalah values-driven yang bisa diterjemahkan menjadi political-driven, economic-driven dan social-driven. Bukti keberhasilan modal sosial Gorontalo ada pada “hulunga”, yakni model bekerja bersama seluruh masyarakat secara partisipatif. Hasil dan bukti dari sistem Hulunga ini bisa kita saksikan pada saluran irigasi Tanggidaa yang dibangun pada 6 Sya’ban 1140 H atau 19 Juni 1728. Begitu juga dengan “dembula”, yakni model saling memberikan bantuan tanpa balasan dalam prosesi kematian, pernikahan dan lain-lain.
Contoh di atas adalah bukti bahwa pada masa lalu, values-driven telah terbukti bisa menyatukan derap Gorontalo, baik untuk menyatukan masyarakat maupun bisa membangkitkan partisipasi publik. Berbeda dengan kondisi saat ini yang bisa kita dengar di kampung-kampung “mapilo biasaliyo lo doyi wanu dila jamo karaja.”
Torehan kisah masa lalu dan bukti historisnya adalah penting untuk direfleksikan secara komprehensif dan kolaboratif. Perlu adanya menjahit semangat kolaborasi antar masa dan antar periode. Tanpa itu, kita hanya berada pada sintesis dendam kesumat antar periode. Sebagai contoh, setiap ganti pemimpin, selalu ganti tema, ganti kulit dan jika perlu ganti spirit. Sejarah itu tidak bisa diperlakukan sebagai benda, tapi sebagai memori untuk pengalaman sebagai guru di masa depan.
Dunia yang saat ini sedang bergolak perlu adanya perenungan secara mendalam, leluhur kita punya keberhasilan dalam mengelola gejolak di masa itu tanpa harus mempertaruhkan prinsip kegorontaloan mereka. Mereka bisa beradaptasi dan berkolaborasi di tengah keterbatasan sumber daya.
Di era saat ini, dimana “batas” semakin tipis dan longgar, tafsir soal nasionalisme, kedaerahan dan negara berada di ambang batas. Perlu ada peneguhan kembali soal sikap bersama, many to many. Bukan lagi one-to-one apalagi one-to-many. Dunia saat ini adalah dunia kolaboratif. Semangat itu yang mesti dijadikan prinsip kerja bagi semua lapisan.
Dunia yang bergolak tidak bisa diubah dengan cara berpikir satu dan dua orang, atau beberapa kelompok. Perebutan sumber daya, baik di level kekuasaan maupun ekonomi mesti ditafsirkan lagi, sekaligus direnungkan kembali. Kecuali memang tidak ada niat untuk mewariskan kebaikan dan sumber daya bagi generasi di masa akan datang. Pada sikap ini, generasi akan datang hanya akan bisa mengutuk kita yang berada di masa kini.
Di masa Gorontalo 4.0, ada suatu keadaan dimana citizen akan saling berebut pengaruh dengan netizen. Baik opini, legitimasi maupun sumberdaya. Perebutan ruang ini semakin nyata jika kita bisa melihat aneka ragam keadaan di media sosial.
Gorontalo 4.0 adalah masa mengesktrak values di masa lalu dan “menikahkannya” dengan spirit new wave technology di masa kini. Sebagaimana kreatifitas leluhur kita di masa lalu yang penuh keterbatasan, namun bisa mencetak banyak karya, tapi tetap menjamin kekentalan kekerabatan satu sama lain. Berbeda dengan kondisi saat ini, tarik menarik legitimasi jangka pendek misalnya untuk agenda politik lokal telah mengakibatkan kerakusan dan kemerosotan nilai dan pada akhirnya mewariskan jejaring dendam yang tak pernah usai.
Maka, menjatuhkan pilihan prinsip dan agenda untuk masa depan adalah hal genting untuk segera dilaksanakan. Siapapun pemimpin di masa akan datang, mau tidak mau mesti melepaskan ego sektoralnya untuk kebaikan bersama demi merawat warisan untuk generasi masa depan.
Selamat memasuki abad baru Gorontalo, abad kreatif sekaligus abad terganas! Semoga kita segera meninggalkan annus horribilissimus ini dan segera memasuki annus mirabilis.
Leave a Reply