funco.id

Work, Struggle, and Pray

Margaretha Hutagalung dan Problematika Adat

Persatuan bangsa, agama, etnis dan identitas lainnya biasanya dipicu oleh penistaan dan pelecehan terhadap identitas itu. Banyak yang memerdekakan diri karena direndahkan, dipinggirkan dan ada juga karena ditelantarkan.

Imajinasi kemerdekaan yang sesungguhnya adalah membebaskan kondisi yang lalu dan kini, apakah itu kondisi ternistakan maupun terhina, lalu kemudian mencapai cita-cita yang ada di depan. Cita-cita yang ingin “menjadi” sesuatu (lebih baik) adalah bagian sekunder dari sebuah perjuangan.

Sebagai contoh, Indonesia memerdekakan diri karena terpinggirkan, terhina, ternistakan dan terlecehkan selama berabad-abad. Rata-rata, bangsa-bangsa yang memproklamasikan kemerdekaannya untuk “membebaskan”, dibanding “menggapai” sesuatu yang ada di depan.

Gorontalo juga memilih “bebas” menjadi teritori yang otonom juga karena ingin “lepas” dari tekanan, pengekangan termasuk didalamnya adalah penistaan dan penghinaan. Ingin bebas menentukan nasib dan masa depan.

Gorontalo sejak tahun 1942, 1957, 1993, dan terakhir tahun 1999 berupaya dan berjuang untuk bisa lepas dari kungkungan.

Setelah bersatu dan bersama-sama berjuang di 1999 untuk membentuk sebuah Provinsi, setelah itu kata “satu” itu cenderung menghilang. Rebutan posisi, kursi, bagian menjadi warna baru Gorontalo, setelah menjadi daerah otonom.

Hingga datanglah seseorang yang bernama Margaret Hutagalung, seseorang yang bercita-cita ingin menjadi Putri Kebudayaan Indonesia 2019. Cita-citanya ini sangat kuat, dan kuatnya cita-cita itu membuat dirinya harus melampaui pengetahuannya. Hingga ia harus melakukan hal-hal diluar norma kebudayaan yang ia “wakilli”.

Ia menjadi “wakil” Gorontalo melalui agen-agen yang tangannya tidak terlihat di permukaan. Agen-agen ini memanfaatkan abainya pemerintah dalam menyiapkan generasi per generasi sebagai duta kebudayaan. Dan agen-agen ini tahu, bahwa kegiatan seperti ini adalah ladang bisnis yang belum banyak pemainnya.

Margaret dan juga pengelola iven dianggap “menistakan” kebudayaan Gorontalo. Ia dianggap telah berbuat tidak senonoh dengan menggunakan Bili’u namun bercelana pendek yang pahanya terlihat secara telanjang.

Sekejap dunia digital Gorontalo bergetar. Gempa digital berskala 7 skala ritcher mengguncang kesadaran warga Gorontalo. Semua protes, marah, bahkan salah seorang tetua kebudayaan Gorontalo bergetar seluruh badannya setelah melihat foto di instagram. Semua terkejut.

Pada taraf itu, Margaret yang disebut menghina kebudayaan Gorontalo, telah mengguncang kesadaran kolektif. Bahwa ada identitas yang dinistakan, dilecehkan dan diinjak-injak. Semua menyatu secara alamiah. Semua berbaris menyatu di dunia digital melalui postingan, story dan bahkan tagar.

Margaret tepatnya adalah “pemersatu”. Walaupun ia tak sadar dengan itu, tapi Margaret telah menjentik kesadaran kolektif warga Gorontalo untuk memulai memikirkan secara serius mengenai kebudayaan Gorontalo.

Terus terang, jika tak ada sosok Margaret, tentu kita sekalian semakin abai dengan kebudayaan kita sendiri. Kita semakin membiarkan diri kita tak mengenal lagi sendi kebudayaan. Itu diri kita. Apalagi anak-anak kita hari ini dan akan datang. Bisa lebih parah.

Bisa dihitung berapa rumah tangga yang masih menggunakan bahasa Gorontalo sebagai alat komunikasi sehari-hari. Bisa pula diterka berapa orang yang tahu arti kata Bili’u, makna warna, tafsir Sundi, dan ornamen lainnya.

Banyak diantara kita yang mulai lupa persoalan aadati u maa dili-dilito, bolo mopoayito. Banyak juga diantara kita yang semakin lama semakin meninggalkan ritual adat dan kebudayaan Gorontalo, misalnya ritual dari lahir, pernikahan, hingga kematian. Padahal dalam setiap ritual itu memiliki banyak pesan, agar setiap yang melaksanakan beroleh pemahaman dan pengetahuan di level praktek.

Kita memang merasa memiliki hak untuk “menghukum” Margaret. Tetapi, apakah kita juga sebagai orang Gorontalo yang notabene mewarisi identitas dan sejarah lebih punya kesadaran yang tinggi terhadap kebudayaan kita, termasuk bagaimana mewariskannya dan mengajarkannya pada anak cucu kita? Ataukah, kita hanya berhenti saja pada mencerca dan menghukum Margaret? Ataukah, momentum “penistaan” ini menjadi bagian dari renungan dan refleksi kita secara kolektif mengenai kesadaran kita akan identitas, dan juga masa depan kebudayaan kita?

Sebagai bangsa yang mudah lupa, menjadi penting kiranya menjadikan momentum “penistaan” ini sebagai pijakan untuk memperbaiki diri, menata agenda, melakukan perenungan secara mendalam. Bisa jadi pula, Margaret adalah “utusan” dari-Nya sebagai pengingat dan tanda bagi kita sekalian untuk lebih mawas diri.

Momentum itu adalah tanda kebangkitan kembali kebudayaan Gorontalo yang harus diakui bersama sudah berada pada taraf yang pudar. Kebudayaan Gorontalo berada pada tubir peradaban. Jika bukan sekarang, apakah kita harus menunggu Margaret-Margaret lainnya atau memulai upaya pemertahanan kebudayaan kita sendiri, kebudayaan Gorontalo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *