Saya mengajukan ini di tengah kecemasan yang melanda. Masa depan Gorontalo ini cukup mencemaskan. Bukankah hanya dengan mencemaskan kita bisa melakukan refleksi akan kekurangan, keteledoran dan kebingungan kita selama 77 tahun ini? Saya cukup cemas dengan Gorontalo ini. Di beberapa orde yang telah lalu, gubernur dan bupati serta legislatif di tanah ini tak pernah dipilih langsung. Kini, kita bisa memilih mereka secara terbuka. Tapi di saat yang sama pula kita hanya bisa cemas mobilisasi kapital telah merusak akar nurani politik lokal. Uang telah menjadi alat jual beli dalam praktik demokrasi.
Kita juga mafhum bahwa provinsi memang tidak menjanjikan adanya kesempurnaan. provinsi tentu bukan untuk menyempurnakan segala sesuatu. Provinsi adalah keinginan untuk memperbaiki diri selalu. Provinsi dimulai dari kekurangan. Kita akui bahwa apa yang ada selama ini belumlah sempurna. Provinsi ini kita lahirkan untuk membuka jalan ke arah perbaikan yang damai dan teratur. Dan sesungguhnya bukan untuk melahirkan kesempurnaan.
Namun, angin kecemasan mesti ditiupkan. Mesti ada semangat kecemasan. Tetap perlu ada orang yang mengeluh. Keadaan tidak akan sempurna, memang. Seperti sekarang, pemerintah daerah abai dengan kekurangan yang selama ini terjadi. Mereka salah karena tidak antisipasi. Tapi menyalahkannya pada pemerintah daerah sepenuhnya? Tidak bisa. Dengan kata lain, Gorontalo yang sekarang masuk dalam satu arena yang berbeda, tidak bisa dibandingkan dengan daerah yang telah berdiri lebih dulu. Tapi tak berarti kita tidak salah.
Kita menikmati angin segar desentralisasi, yang juga merupakan revolusi diam-diam dari Indonesia. Provinsi ini berubah, tapi orang tidak sadar kalau itu perubahan besar. Kalau dibilang apa yang kita lalui selama ini tidak menghasilkan, itu tidak benar. “jangan kutuk kegelapan, nyalakan lilin”. Mungkin dunia tak akan berubah drastis. Tapi, dunia kan memang tidak pernah berubah drastis.
Ancaman yang kita hadapi saat ini bukanlah Gorontalo yang baik atau buruk. Kita seharusnya tidak terjebak dalam perang wacana itu, karena sekali lagi provinsi yang kita perjuangkan adalah proses menuju sempurna. Yang kita hadapi adalah pertarungan politik dan kultural. Kita sedang berebut ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu-rambu kekuasaan politik dan merumuskan kegorontaloan.
Dalam arena pertarungan ini kita perlu membangun gerakan kebudayaan yang memungkinkan tumbuhnya imajinasi tentang dunia baru yang kita dambakan dengan cita-cita politik yang jelas. Kita tidak bisa bertahan dengan posisi-posisi anti a atau b sebagai reaksi terhadap provokasi ‘pihak sana’. Kita tidak boleh membiarkan gerak kita ditentukan oleh manuver-manuver yang mereka rancang untuk mengacak-acak kesatuan dan keteraturan derap kita. Kita harus tegaskan posisi kita terhadap hal-hal fundamental yang menjadi landasan dan kerangka tegaknya provinsi ini.
Sekali lagi, kita bukan makhluk lemah yang tak berakal-budi. Kita bukan obyek penerima amplop sedekah dan tindakan karitatif lainnya untuk dukungan politik sempit. Kita mesti tolak mereka mulai menghancurkan urat nadi demokrasi yang telah kita buka paksa di sepuluh tahun silam.
Sepanjang sejarah peradaban manusia Gorontalo, kita selalu punya cara untuk bertahan, melawan dan mencari celah-celah pembebasan. Kalau tidak, kita sudah punah sebagai spesies. Minimal, perlawanan yang terbaik adalah melawan lupa. Bahwa kita tidak melupakan provinsi ini didirikan diatas nurani dan setumpuk keyakinan pada kemanusiaan Gorontalo.
Jika telah memasuki perjalanan waktu yang ke 77, berarti tinggal 33 tahun lagi akan masuk satu abad atau 100 tahun. Bukan angka yang sedikit, namun lebih menantang. Jelang peringatan 100 tahun Gorontalo berdaulat, yakni 33 tahun lagi. Dinamika dan perubahan yang akan terjadi sangatlah deras. Banyak yang akan dilewati ke depan dengan berdarah-darah. Setelah itu, kita mesti dengan mata telanjang menyaksikan parade pemuasan nafsu angkara. Politik lokal menjadi arena mencabik-cabik harga diri kita sebagai warga serambi kotanya Nabi. Kita bermuram durja karena itu.
Leave a Reply