Bagi sebagian kalangan, adalah semacam kebanggaan bagi orang dekat, satu keluarga, satu partai, satu organisasi atau minimal satu daerah dengannya bisa masuk dalam jajaran Kabinet. Khusus Gorontalo, terhitung ada beberapa orang yang berasal dari Gorontalo yang pernah menduduki jabatan menteri di Kabinet. Mereka bisa dikategorikan sebagai elit Gorontalo yang bisa mencapai puncak dalam struktur pemerintahan dalam hal ini eksekutif.
Orde Lama
Pada awal setelah Indonesia merdeka, ada nama Ong Eng Die yang pernah menduduki Menteri Keuangan di era Presiden Soekarno. Ong Eng Die menduduki jabatan tersebut selama dua kali, yakni pada Kabinet Amir Sjarifoedin (1947-1948) dan pada Kabinet Ali Sasfroamidjoyo (1953-1955). Ong Eng Die adalah salah satu penasihat ekonomi delegasi Indonesia pada saat perundingan Renville.
Di uang satu rupiah pada tahun 1954, tanda tangan Ong Eng Die menghiasi tanda pembayaran yang sah pada kala itu. Ong Eng Die adalah kelahiran Gorontalo pada 20 Juni 1910. Dia meraih Doktor dari Universitas Amsterdam pada 1943.
Ayahnya, Ong Teng Hoen, menjabat sebagai Luitenant der Chinezen dari Gorontalo. Ia memimpin birokrasi sipil Tiongkok di Gorontalo sejak tahun 1924 hingga invasi Jepang pada 1942.
Ong Teng Hoen sendiri lahir di Manado pada 2 Januari 1874 dan menutup usia pada 8 Februari 1958 di Gorontalo. Ong Teng Hoen menikah dengan Soei Djok Thie Nio dan memiliki anak Ong Gien Seh Nio (1903-1963), Ong Gien Hoa Nio, Ong Gien The Nio (1907-1985), Ong Eng Die (1910-1999) dan terakhir Ong Eng Pien.
Pada tahun 1964 setelah tidak menjabat, Ong Eng Die pindah ke Amsterdam, Belanda. Dia dan istrinya yang berkebangsaan Jerman diberikan kewarganegaraan Belanda pada tahun 1967, ketika ia tercatat sebagai pengusaha di Belanda. Ong dan istrinya tinggal di Amsterdam sampai perceraian mereka pada tahun 1975. Setelah itu dia pindah ke Den Haag. Dari istrinya, ia memiliki dua putra.
Orde Baru
Setelah itu, pada era Orde Baru, barulah masuk BJ Habibie. Habibie adalah lulusan Doktor dari RWTH Aachen Jerman. Habibie menduduki Mentri Riset dan Teknologi pada periode 1978–1998 di era Soeharto. Pasca Mentri, Habibie menjadi Wakil Presiden ke 7 dan akhirnya menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ke 3.
Ayah Habibie asal Gorontalo, namanya Alwi Abdul Jalil Habibie. BJ Habibie memang tidak lahir di Gorontalo, namun sebagai orang yang berdarah Gorontalo, ia begitu kental dalam memegang teguh prinsip dan adat Gorontalo. BJ Habibie mengalami masa kecil dan hingga dikhitan di Gorontalo. Saat menikah dengan Hasri Ainun Habibie, ia juga mengenakan pakaian adat Gorontalo.
Era SBY
Pasca Orde Baru, orang Gorontalo yang menduduki menteri dalah Adhyaksa Dault. Adhyaksa menjabat Menpora untuk tahun 2004–2009. Ibu Adhyaksa bernama Maryam Hadju. Hadju adalah salah satu marga di Suwawa, Kabupaten Bone Bolango. Sewaktu kecil ia pernah hidup di Gorontalo kurang lebih dua tahun, sebelum kemudian pindah ke Palu lalu ke Jakarta. Adhyaksa pernah menduduki sebagai Ketua Umum DPP KNPI dan Ketua Gerakan Pramuka.
Masa setelah itu, masih di era SBY, orang Gorontalo yang menduduki jabatan Menteri adalah Fadel Muhammad dan Soeharso Monoarfa. Fadel menduduki Menteri Perikanan dan Kelautan, Soeharso menjabat Menteri Perumah Rakyat. Namun, keduanya hanya menjabat pada kurun waktu 2009 – 2011, tidak sampai menyelesaikan hingga akhir masa jabatan. Setelah itu Fadel masuk di DPR RI periode 2014 – 2019, dan ikut berlaga di DPD RI hingga mencapai posisi Wakil Ketua MPR RI untuk periode 2019 – 2024, pada periode saat ini Fadel kalah dari pemilihan Wakil Ketua MPR yang mewakili DPD RI.
Era Jokowi
Pada masa setelah SBY, pada tahun 2014, orang Gorontalo yang menduduki kabinet adalah Rachmad Gobel. Rachmad Gobel menjabat dari tahun 2014 hingga 2015. Setelah itu, dia memilih jalur legislatif untuk pengabdian untuk periode 2019-2024 bisa mencapai posisi Wakil Ketua DPR RI.
Di kurun waktu yang sama, Ignasius Jonan juga diberi amanah menduduki Menteri Perhubungan dari tahun 2014–2016. Lalu dipercayakan menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia mulai tahun 2016 hingga kini. Ignasius adalah putra Paguat, salah satu kecamatan di Kabupaten Pohuwato, sebab kakek dan ayahnya adalah kelahiran Paguat.
Pada periode kedua Jokowi, Gorontalo seperti panen durian runtuh, tercatat ada tiga orang Gorontalo yang masuk kabinet ; Zainudin Amali (Menteri Pemuda dan Olahraga), Suharso Monoarfa (Menteri Bappenas/PPN) dan Sandiaga Uno (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Zainudin dipilih Jokowi karena representasi Golkar, Suharso karena sebagai Ketua Umum PPP dan Sandiaga sebagai representasi Gerindra. Dari ketiganya, hanya Zainudin yang mencukupkan diri menjadi Menteri karena memilih menjadi Wakil Komisaris Utama Bank Mandiri sekaligus Wakil Ketua Umum PSSI.
Era Prabowo
Beberapa hari belakangan ini, kita telah melihat puluhan orang yang sedang diseleksi oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto di Kertanegara. Dari sekian puluh orang tersebut, nama-nama tokoh asal Gorontalo sepertinya tidak nampak.
Suharso sendiri sepertinya tidak masuk lagi karena posisinya sebagai Ketua Umum PPP sudah digantikan oleh Mardiono. Demikian pula dengan Sandiaga Uno yang sudah memilih berlabuh ke PPP, sehingga posisinya sudah tidak kuat lagi secara politis.
Jika melihat nama-nama yang telah diseleksi dan diumumkan ke publik, sepertinya orang Gorontalo yang akan berada di kabinet Prabowo sudah tidak ada lagi. Harapan untuk melihat orang Gorontalo di kabinet sepertinya sudah pupus, apakah itu pada posisi Menteri, Wakil Menteri maupun Badan/Lembaga.
Masa Senjakala
Dinamika politik nasional dengan segala turbulensinya membuat kita mesti melakukan koreksi secara total. Bahwa euforia kita saat 2019 – 2024 dengan hadirnya tiga orang Gorontalo di kabinet dan dua orang sebagai Wakil Ketua DPR RI dan MPR RI, tidak membuat kita mampu melakukan konsolidasi secara internal.
Harus diakui, mereka berlima pada periode 2019-2024 berjuang lalu terpilih karena faktor “skill individu”, bukan karena dukungan secara maksimal masyarakat Gorontalo, baik pemerintah daerah maupun lembaga kemasyarakatan seperti KKIG, Lamahu dan organisasi masyarakat Gorontalo lainnya.
Gorontalo, baik secara personal maupun kelembagaan, baru “hadir” saat mereka selesai dilantik, dengan segala luapan kebahagiaan dan pesta pora ditambah dengan euforia tanpa rekonsolidasi secara strategis dalam mendukung agenda politik dan kebijakan mereka secara nasional.
Pada periode ini, bisa dibilang Gorontalo memasuki era senjakala elit, yang hal itu terjadi karena beberapa faktor ;
Pertama, dukungan kelembagaan pemerintah daerah, elit politik lokal dan nasional Gorontalo hingga organisasi kemasyarakatan yang ada tidak maksimal dan bahkan terpecah-pecah. Gorontalo, jika bisa didengar “voice” nya, lebih banyak saling mendegradasi satu sama lain.
Kedua, lapisan elit nasional Gorontalo sangat tipis dan bahkan sedikit. Hari ini misalnya terlihat di jajaran pengurus partai politik di level pusat hampir tidak ada. Di partai-partai besar seperti Gerindra, tidak tampak elit Gorontalo yang masuk di kepengurusan teras. Nama-nama seperti Harris Bobihoe, walaupun sebagai pendiri partai tapi tidak masuk sebagai jajaran teras partai. Elnino, walaupun sebagai anggota DPR RI dari Gerindra tapi memilih menjadi Ketua DPD Gorontalo untuk dua periode terakhir. Di Golkar sendiri, orang seperti Roem Kono, Tony Uloli, termasuk Zainudin Amali sudah tidak masuk lagi di lingkaran strategis partai. Di PPP juga demikian, Suharso pun tidak masuk lagi jajaran inti. Rachmad Gobel di Nasdem saja hanya berada di Korwil Pemenangan Daerah. Di PDI P, ada nama seperti Mochtar Mohammad, tapi tidak lagi berada sebagai circle inti partai. Apalagi partai-partai lain seperti PAN, PKB, PKS. Nah di Hanura, ada Djafar Badjeber sebagai Wakil Ketua Umum, tapi posisi Hanura yang tidak masuk legislatif dan berada diluar lingkaran pemenang Pemilu, maka nasibnya pun menjadi tidak tentu. Di Partai-partai lain yang non parlemen pun sama, tidak ada orang Gorontalo yang masuk jajaran inti partai.
Ketiga, nama-nama diatas harus diakui sudah memiliki jejaring yang kuat di tingkat partai, termasuk diluar itu, sayangnya elit-elit Gorontalo diatas rata-rata sudah berusia diatas 60 tahun, sehingga harus diakui jika performance mereka harus menyesuaikan dengan usia. Pada lapisan kedua setelah deretan nama diatas hampir tidak ada. Kalaupun ada, power dan networking masih tidak memadai untuk masuk pada lingkaran utama pengambilan keputusan partai politik.
Regenerasi Elit Gorontalo
Dari ketiga faktor diatas, ada hal lain yang bisa disebut sebagai titik cerah yakni dengan mulai banyaknya orang Gorontalo yang berada di birokrasi pusat dengan posisi eselon yang memadai, begitu juga untuk posisi seperti di BUMN. Di pemerintahan (birokrasi), posisi eselon satu kini diisini oleh Hamka Hendra Noer, Ismail Pakaya, Yusharto Huntuyungo, Lukman Laisa. Ada juga beberapa nama yang mengisi eselon dua seperti Khalid Yusuf, Mohammad Firman, Syafrin Liputo dan beberapa nama lain yang tersebar di berbagai kementerian/badan/lembaga. Di BUMN ada nama Abraham Mose, Ferry Kono, Yunus Nusi dan nama-nama lainnya. Nama-nama ini tentu saja perlu untuk didukung secara strategis agar nantinya pada perputaran roda politik berikut bisa dipersiapkan untuk mengisi posisi-posisi yang lebih strategis.
Selain hal tersebut, tentunya regenerasi elit juga sangat penting. Misalnya dengan mendorong banyaknya birokrat-birokrat muda untuk bisa berkarir di kementerian/badan/lembaga, demikian pula para politisi-politisi muda Gorontalo sudah harus memberanikan diri berkarir di pusat, membangun networking hingga update situasi dan wawasan nasional.
Regenerasi elit sangat penting karena jika kita lihat dari sekian puluh nama yang dipanggil Prabowo, beberapa diantaranya berusia dibawah 40 tahun. Hal yang sama jika kita melihat deretan komisaris-komisaris di BUMN dan Badan yang berusia masih muda, tetapi dengan pengalaman dan wawasan yang tinggi.
Tetapi, satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa formasi elit Gorontalo di pusat terkesan masih faktor individual, belum karena faktor kelembagaan. Faktor kelembagaan dimaksud adalah bagaimana formasi elit di masa akan datang lahir dan terbentuk karena by design atau melalui jalur kaderisasi yang benar-benar saling mendukung dan kompak.
Jika formasi elit baru nanti terbentuk, tentu saja Gorontalo akan diuntungkan, bukan saja karena “untung nama” tetapi bisa menguntungkan daerah secara umum, apakah itu bisa membawa program-program pusat ke daerah, atau menjadi katrol bagi elit-elit lain yang meniti karir di pusat.
Leave a Reply