Sumber foto:gorontalo.tribunnews.com
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Gorontalo telah terpilih. Setelah dilantik secara administratif, mereka akan diambil sumpahnya secara adat. Dalam adat Gorontalo, proses setelah pelantikan biasanya diiringi dengan tradisi Molo’opu.
MOLO’OPU
Dari semua referensi Gorontalo, kata Molo’opu berasal dari kitab Meeraji, dan hanya sekali ditulis dalam kitab tersebut. Meeraji adalah karya Syekh Ali bin Abubakar al-Hasani yang dikenal dengan nama Bapu Ju Panggola atau Raja Ilato.
Kata molo’opu tertulis dalam bab Wafati pada Meeraji, yang menggambarkan proses wafatnya Nabi Muhammad SAAW.
Molo’opu artinya memangku. Pada Meeraji, kata molo’opu digunakan oleh malaikat Israil yang didampingi malaikat Mikail, malaikat Jibril dan malaikat Israfil saat mendapat tugas dari Allah SWT untuk “menjemput” nyawa Nabi.
Tapi, bagi penulis kitab, kata “mengambil”, “menjemput”, apalagi “mencabut nyawa” tidaklah pas untuk kedudukan Nabi. Maka dipilihlah kata “molo’opu” atau memangku yang lebih “adab” dalam konteks kedudukan atau derajat Nabi.
Dalam dialog, para malaikat menyampaikan : “amiyatiya yilahu mayi lo Eeya molo’opu ode ito Eeya Muhammadi”. Yang artinya “kami disuruh oleh Allah SWT untuk “memangku” nyawamu wahai Baginda Nabi”.
Kenapa kata itu dipilih, bukan yang lain? Karena dalam Meeraji, salah satu gelar untuk Nabi adalah Ta Iloponu lo Eeya. Kata “ponu” berarti air mata. Apakah Allah memiliki “air mata”? Atau jika diartikan lebih dalam “air mata Allah jatuh padanya”. Tentu Allah tidak memiliki air mata. Itu adalah kiasan betapa Baginda Nabi adalah kekasihNya, sehingga artinya orang yang dirindukanNya.
Kata tersebut oleh leluhur Gorontalo lalu ditransformasikan dalam acara adat yang kini kita kenal dengan “Molo’opu’”. Acara molo’opu dalam artian lain adalah upacara penjemputan pimpinan daerah dari kediaman pribadi ke rumah jabatan atau dinas.
Kenapa kata itu ditransformasi? Sebab, dalam proses molo’opu pimpinan daerah baik itu Gubernur, Wagub, Bupati/Walikota dan wakilnya, diharapkan dapat mengembangkan, memperkuat dan menjalankan pesan-pesan atau pola kepemimpinan Nabi dalam konteks pemerintahan kekinian. Bisa juga adalah mengantarkan seseorang dari mengurusi urusan pribadi dan keluarga saja, menjadi mengurusi umat (rakyat) yang berlandaskan pada ajaran Nabi.
Harapan lain, agar ketika selesai menjabat, si pejabat (kepala daerah) bisa “otolohe lo ponu” atau mendapat percikan “air mata” dari Nabi, atau dirindukan Nabi. Karena telah berhasil mencetak karya (ilomata) untuk membangun daerah demi kemaslahatan umat. Sebagaimana tugas-tugas “wuleya lo lipu” pada umumnya, mencetak karya untuk daerah.
Namun, jika pesan Molo’opu tidak dibawa ke dalam pemerintahan dalam artian pelayanan publik yang sesuai tata kelola pemerintahan yang berlandaskan nilai-nilai dan pesan ke-Nabi-an, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya.
MOLOLOPU
Pengingkaran akan nilai dan pesan ke-Nabi-an adalah kehancuran. Dalam bahasa Gorontalo, kehancuran adalah “mololopu”.
Mololopu begitu mirip dengan kata Molo’opu. Yang maknanya berkebalikan. Jika tidak melakukan kebaikan untuk kebenaran atau tidak mencetak karya untuk daerah, maka yang terjadi adalah kehancuran (mololopu).
Kenapa bisa hancur? Siapa atau apa yang hancur? Tentu saja daerah, dan si kepala daerah tersebut termasuk keluarga, dan turunannya hingga rakyat.
Kehancuran itu akibat janji suci yang ia ucapkan yakni ;
Tawu, maa tawu lo Ito Eeya (Rakyat, rakyat diperuntukkan bagi tuanku).
Dupoto, maa dupoto lo Ito Eeya (Angin, angin diperuntukkan bagi tuanku)
Taluhu, maa taluhu lo Ito Eeya (Air, air diperuntukkan bagi tuanku)
Huta, maa huta lo Ito Eeya (Tanah, tanah diperuntukkan bagi tuanku)
Tulu, maa tulu lo Ito Eeya (Api, api dipertukkan bagi tuanku)
Bo diila polulia to hilawo Eyanggu (Tapi jangan sembarangan menuruti hawa nafsu, tuanku)
Tujai saat penobatan di atas menunjukkan bahwa betapa besar kekuasaan seorang pemimpin (kepala daerah). Seorang pemimpin di Gorontalo dianggap mengusai rakyat, bahkan empat unsur kehidupan seperti api, udara, air, dan tanah. Tetapi, dalam menjalankan kekuasaannya tersebut diharapkan agar setiap pemimpin tidak sembarangan mengikuti hawa nafsu agar bisa memimpin secara arif dan adil.
RESIKO PEMIMPIN
Sumpah pada penobatan diatas sangatlah keras. Sebab, sumpah itu berjangkar pada “Adati Hulahulaa To Saraa, Saraa Hulahulaa To Quruani”.
Hal tersebut berarti bahwa pemimpin di Gorontalo bukan saja pemimpin politik dan pemimpin administratif, tetapi juga sekaligus pemimpin adat serta pemimpin spiritual.
Sebagian orang menyangka bahwa keterpilihan di Pilkada secara elektoral dan dilantik secara administratif sesuai konstitusi adalah basis legitimasi untuk memimpin di Gorontalo. Tentu saja, hal tersebut tidak sesedehana yang dibayangkan.
Di Gorontalo, leluhur telah memaku, mengikat dan menancapkan patok adat yang dilandasi agama dalam penyelenggaraan kekuasaan. Paku dan patok tersebut adalah janji dan sumpah dalam tradisi molo’opu. Sehingga bagi setiap pemimpin, janji sesuai konstitusi (ketentuan perundangan-undangan yang berlaku) harus diikuti janji secara adat dan agama.
Konsekuensi dari pelanggaran konstitusi bersifat pidana, perdata atau paling buruk dimakzulkan. Tetapi pelanggaran terhadap sumpah adat dan agama, konsekuensinya sangat berat.
Dalam bahasa adat Gorontalo, hukum disebut ‘buto’o’. Jika melanggar hukum akan dikenai obuto’a. Maka biasa banyak kita dengar istilah ‘buta’o ombongo’ atau perut terbelah. Hal itu adalah konsekuensi biologis yang diterima secara privat oleh pemimpin. Belum konsekuensi untuk keluarganya dan turunannya hingga resiko bagi rakyat.
Sumpah (tadiya) di Gorontalo untuk menjaga daerah tetap aman dan sejahtera sehingga harus “hidudu’a, hipakuwa”, dan jika melanggar akan terkena “odudu’a lotadiya” (terkena sumpah atau dimakan sumpah). Kata dudu’o yang artinya palu. Palu untuk menekan dan dan memukul. Sumpah (tadiya) dimaksudkan untuk mengikat dan menekan serta membatasi agar setiap pemimpin menjalankan kekuasaan tidak sembarang mengikuti hawa nafsu dan tadiya akan memukul jika melanggar.
Kita tentu saja banyak disodori rekam jejak kepemimpinan Gorontalo baik yang telah mencetak karya (ilomata) untuk kesejahteraan dan juga bagaimana rekam jejak pemimpin yang teledor dalam kekuasaannya.
Pemimpin adalah juga “wuleya lo lipu ito taa pongata” (pemimpin wilayah tempat menyandarkan harapan). Disebut juga olongiya (pemimpin negeri). Bisa juga disebut bubato (pemangu negeri) atau tau’wa (yang diutamakan). Artinya bahwa dari istilah pemimpin saja sudah demikian beragam dengan segala keistimewaan hingga legitimasinya. Namun jika disalahgunakan, resikonya akan sangat berat.
Leave a Reply