funco.id

Work, Struggle, and Pray

PASCA ULIL DAN TANTANGAN SETELAH ITU

Sebelum Gus Ulil Abshar Abdalla datang ke Gorontalo, medsos sempat “bergejolak”. Begitupun setelah Gus Ulil kembali ke Jawa.

“Gejolak” ini muncul karena dua hal; (1). Ada miskomunikasi dalam pengaturan agenda Gus Ulil di Gorontalo, khususnya di Universitas Negeri Gorontalo. (2). Karena ada hal-hal yang tidak terkomunikasikan secara face-to-face, melainkan melalui media sosial (digital). Sehingga banyak informasi yang tidak tersambung dan tidak tersampaikan secara maksimal.

Saat itu, hal ini bisa dijembatani secara cepat, syaratnya masing-masing pihak mencari titik temu untuk membicarakan miskomunikasi tersebut. Jika ada hal-hal yang dianggap “melampaui”, semua bisa diatasi dengan cara yang sesuai dengan “dulohupa” ala Gorontalo. Tapi, yang lebih penting bagi bukan soal itu. Yang lebih penting adalah mengajukan pertanyaan “what next?”.

Gus Ulil dalam transformasi pemikiran memang mengalami banyak kontroversi. Harus diakui bahwa kontroversi itulah yang menaikkan nama Gus Ulil menjadi “besar”. Bukan saja Gus Ulil, tapi hal ini juga dialami oleh banyak pemikir di Indonesia dan dunia secara umum. Namun, saya tidak akan masuk lebih dalam soal pemikiran Gus Ulil (karena memang tidak mendalaminya).

Maka yang terpenting untuk kita semua adalah “what next?”. “What next” yang dimaksud adalah bagaimana tokoh-tokoh agama termasuk pemikir keagamaan di Gorontalo akan bisa lebih besar namanya, pemikirannya dan pengaruhnya. Apakah itu mungkin? Bisa saja itu terjadi dan sangat memungkinkan.

Pasca Gus Ulil di Gorontalo (dengan segala kontroversinya), harus diakui bahwa namanya berkibar karena pemikirannya. Soal ada yang tidak terima, itu soal lain. Namun, ia memiliki keberanian untuk mengutarakan sekaligus mempertentangkan pemikirannya. Bukan saja Ulil, namun juga banyak pemikir keagamaan lainnya di Indonesia. Karena itu, sudah mesti dipikirkan, bagaimana bisa mendorong pemikir keagamaan dan juga tokoh agama Gorontalo bisa ikut diperhitungkan dalam cakrawala nasional, bahkan internasional.

Jika pada masa lalu di Indonesia memiliki banyak pemikir sekaligus Ulama kaliber seperti Syekh Nawawi al-Bantani (Banten), Syekh Arsyad Al Banjari (Kalimantan Selatan), Syekh Abdus Samad al-Palembani (Palembang), Habib Ustman bin Yahya (Mufti Jakarta), Syekh Hasyim Asyari (Jawa Timur), Habib Abdullah Bilfaqih (Malang), Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid hingga banyak ulama dan juga pemikir Islam di Indonesia yang namanya masyhur ke dunia Internasional.

Namun, hal ini tidak terjadi di Gorontalo. Di Gorontalo, nama-nama ulama lokal Gorontalo juga banyak, dan kemampuan mereka luar biasa, namun aktivitasnya lebih lebih banyak di Gorontalo saja. Tentu ini adalah tantangan bagi tokoh agama dan pemikir keagamaan di Gorontalo hari ini.

Tantangan bagi tokoh dan pemikir keagamaan di Gorontalo adalah bagaimana memproduksi pemikirannya yang dalam pemikirannya tersebut bisa menjadi solusi bagi problem umat. Sebagai contoh, saat ini Gorontalo memiliki banyak tantangan; kriminalitas, narkoba, korupsi, kemiskinan, pengangguran, fenomena digital dan gaya hidup, serta masalah-masalah lokal lainnya, seperti hal yang sama terjadi di Indonesia secara umum.

Hal ini perlu terobosan pemikiran dari tokoh dan pemikir keagamaan di Gorontalo hari ini. Pendekatannya tidak sekedar menyatakan bahwa “bisa dan tidak”, haram-halal, namun perlu upaya solutif yang bersifat “beyond” dalam hal mengatasi problem itu. Pemikiran yang dibutuhkan adalah pemikiran yang holistik-komprehensif.

Sebagai catatan, Gorontalo agak minim memproduksi kitab-kitab atau catatan-catatan yang menjadi rujukan problem keumatan hari ini. Kalau kita telusuri secara digital, karya-karya dan kitab klasik hanya baru sebatas hitungan jari. Itupun baru dibaca dalam kalangan terbatas, apalagi misalnya menjadi rujukan di perguruan tinggi.

Sehingga, tantangan-tantangan yang ada di masa depan lebih banyak dan lebih beragam. Problem lokal dan nasional pun semakin banyak. Ini menjadi ruang bagi tokoh dan pemikir keagamaan untuk bisa lebih maksimal dalam memproduksi karya pemikirannya kedepan.

Karena itu, momentum “gejolak” yang terjadi pada pra dan pasca kehadiran Gus Ulil di Gorontalo menjadi hikmah bagi kita sekalian. Bukan menjadi ruang untuk saling meniadakan, namun menjadi momentum untuk saling menghidupkan, khususnya dakwah Islam di Gorontalo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *