Pemilu adalah puncak kontestasi penataan struktur politik di tingkat nasional maupun daerah. Hasil Pemilu 2019 akan menjadi cerminan kualitas demokrasi Indonesia. Pemilu 2019 adalah momentum akumulatif harapan publik, namun jika hasilnya akan melahirkan kekecewaan, tentunya struktur demokrasi yang telah kita bangun akan mengalami penurunan kualitas. Selain melahirkan anggota legislatif baik di DPRD Kab/Kota, Provinsi, DPR/DPD RI, Pemilu 2019 juga akan melahirkan Presiden dan Wakil Presiden.
Menuju Pemilu Gagal?
Apa yang menjadi harapan kita bersama mengenai Pemilu 2019, termasuk pemilihan presiden, bisa saja akan mengalami kegagalan. Menurut laporan Electoral Integrity Project (2014) yang dipublikasikan oleh Harvard University, pemilu akan dikategorikan gagal jika banyak variabel terkait proses elektoral dilaksanakan secara tidak berintegritas (misalnya perhitungan suara, prosedur pemilihan, hasil suara, dana kampanye, liputan media, registrasi pemilih, regulasi, dan otoritas pemilihan).
Otoritas pelaksana pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum dituntut untuk adil, transparan, partisipatif, efisien dan akuntabel dalam menghindari indikasi pemilu gagal. Di sisi lain, Badan Pengawas Pemilu juga dituntut untuk bisa melakukan audit pemilu secara maksimal, karena hal ini terkait indikasi kecurangan mulai dari proses dan hasil pemilu. Pada saat yang sama, publik telah terbiasa mengakumulasi sikap elektoralnya hanya pada saat pemilu, walaupun hak dan tanggung jawab kewargaan untuk demokrasi substantif ada pada prinsip day to day politics. Tanggung jawab untuk melaksanakan pemilu berintegritas tidak saja diserahkan pada otoritas pemilu, tapi juga publik dan partai politik.
Survei yang pernah dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada Juni 2012 menyatakan bahwa lebih dari 50% publik percaya bahwa partai politik memiliki performance kinerja yang buruk. Lebih buruk lagi jika membaca hasil survei CSIS bulan November 2013, bahwa lebih dari 81% tidak mengetahui kinerja politisi yang berasal dari daerah pemilihannya. Pembacaan atas kondisi ini telah menyebabkan Pemilu 2019 tidak membuat rakyat percaya begitu saja pada setiap janji yang telah diutarakan oleh politisi dan partai politik, rakyat sepertinya bosan dengan apa yang telah diucapkan dan dijanjikan selama ini.
Trend survei, riset dan opini publik di atas menjadi cerminan bahwa telah terjadi krisis kepercayaan dan legitimasi terhadap pemilu, politisi serta partai politik. Keyakinan publik yang menurun terhadap pemilu terekam dari tingkat partisipasi pemilih pasca Orde Baru. Pada Pemilu 1999 mencapai 93,33%, Pemilu 2004 turun menjadi 84,9%, dan Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99%, pada pemilu 2014 partisipasi politik naik menjadi 75,11 persen.
Krisis Tata Kelola Pemerintahan
Selain mengenai persepsi dan data hasil riset mengenai perilaku pemilih dan kepercayaan publik Pemilu. Data riset Indonesia Governance Index (IGI) yang dirilis oleh Kemitraan (The Partnership for Governance Reform) pada tahun 2013 menarik untuk disimak. Data ini bisa dijadikan salah satu indikasi krisis harapan publik. IGI mendefinisikan tata kelola pemerintahan sebagai proses memformulasi dan melaksanakan kebijakan, peraturan serta prioritas-prioritas pembangunan melalui interaksi antara eksekutif, legislatif dan birokrasi dengan partisipasi dari masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi (bisnis).
IGI mengukur empat arena utama yang terlibat dalam formulasi serta implementasi kebijakan atau apa yang sering disebut sebagai ‘governance’. Empat arena ini adalah Pemerintah (mencakup eksekutif dan legislatif), Birokrasi, Masyarakat Sipil dan Masyarakat Ekonomi. Setiap arena dimaknai memiliki kerangka logika yang serupa yang kemudian peran masing-masing dalam praktik-praktik tata kelola diidentifikasi. Dari berbagai macam prinsip untuk mengukur tata kelola (governance), 6 (enam) prinsip yang dianggap paling sesuai dengan kondisi sosial-politik Indonesia. yakni; partisipasi, keadilan, akuntabilitas, transparansi, efisiensi dan efektifitas.
Pada tahun 2009, Gorontalo berada di peringkat 8 (indeks 5.51) dari total seluruh provinsi, namun pada tahun 2013 melorot ke peringkat 23 (indeks 5.64). Memang ada kenaikan indeks, namun provinsi lain juga mengalami kenaikan yang lebih signifikan. Skala penilaian IGI berkisar dari angka 1 (sangat buruk) sampai dengan angka 10 (sangat baik). Dari skala IGI, Gorontalo berada pada skala yang cukup dan namun memiliki kecenderungan menjadi buruk. Ada beberapa prinsip yang melemahkan hasil IGI Gorontalo, antara lain prinsip partisipasi (sangat buruk), transparansi (buruk) dan efektifitas (cenderung buruk). Hasil IGI mencerminkan bahwa demokrasi bukan sekedar pemilu, namun yang lebih substantif ada pada praktek tata kelola pemerintahan yang baik, dan itu dilahirkan oleh pemilu yang berintegritas.
Beberapa Pertanyaan
Penulis mengetengahkan beberapa data dan kecenderungan di atas sebagai fakta dan realitas baru di tengah kegelisahan publik mengenai Pemilu dan Pilpres 2019. Kegelisahan itu antara lain; (1) Seberapa cepat perubahan yang dihasilkan pemilu/pilpres akan terjadi?; (2) Seberapa mungkin perubahan dan kemungkinan kekecewaan terhadap hasil pemilu yang masih dapat mereka tanggung lagi?; (3) Seberapa masuk akal harapan terhadap perubahan yang digantungkan pada elit dan partai politik?; (4) Seberapa siap infrastruktur dalam masyarakat untuk ikut terlibat dan menentukan arah perubahan itu? Deretan kegelisahan ini adalah akumulasi harapan publik yang akan dihadapkan pada dua pilihan, tetap memilih dari pilihan yang buruk atau menambah deretan panjang golput.
Demokrasi Terancam?
Deretan kegelisahan ini ditambah dengan kecenderungan partai politik memanipulasi pertarungan yang sebenarnya yakni pertarungan atas berbagai sumber daya politik (political struggle), partai politik kemudian membangun persepsi yang terbalik bahwa yang terjadi adalah pertarungan ideologis (ideological battelfield). Lebih parahnya, bahwa dalam proses demokrasi, masyarakat diberikan ruang partisipasi dalam berpolitik, tetapi itu hanya sebatas mobilisasi suara dan aspek-aspek prosedural lainnya, sedangkan pada aspek pembuatan kebijakan, masyarakat tidak pernah dilibatkan. Pemilu menjadi medan pertarungan demokratik yang menentukan, elit atau partai mana yang terhapus secara permanen dari peta politik Gorontalo dan mana pula yang akan bertahan.
Jika pemilu/pilpres tidak dijadikan sebagai menjadi momentum perbaikan, maka publik akan merekam ketidakmampuan kelembagaan demokrasi yang dihasilkan pemilu dalam merealisasikan janji-janji demokrasi; tidak mampu menghadirkan keadilan, keamanan, dan kesejahteraan seperti yang dijanjikan model demokrasi selama ini. Bila ini yang terjadi, bukan saja demokrasi yang terancam, namun Gorontalo sendirilah yang terancam.
Leave a Reply