Pemilhan Legislatif 2019 untuk daerah pemilihan Gorontalo berlangsung semakin sengit dan emosional. Apalagi mengingat Gorontalo hanya mengutus tiga orang. Kontestasi ini adalah tahapan dan modal awal dari langkah menuju kontestasi berikut, baik itu pemilihan bupati, walikota dan gubernur di tahun yang akan datang, hingga pemilu berikutnya.
Nama yang sudah beredar adalah petahana Roem Kono dan Elnino Mohi. Penantang baru adalah nama-nama populer seperti Rachmat Gobel, Rustam Akili dan Lola Yunus (Nasdem), Hanna Fadel Muhammad, Irfan Pulungan dan Abdullah Karim (PPP), Gusnar Ismail dan Syaifullah Ngiu (Demokrat), Ida Syaidah Rusli Habibie dan Ethon Parman (Golkar), Zainudin Hasan (PAN), Rio Ismail (PDI-P), Sri Endang Yamin (PKS). Dari partai lain, hampir kurang populer di masyarakat dengan tingkat keterpilihan yang rendah.
Perebutan tiga kursi ini adalah kombinasi modal sosial, “nama besar”, jaringan kepartaian, strategi matang, dukungan kepala daerah, hingga dukungan finansial yang kuat. Di antara nama-nama tersebut, rata-rata siap dengan segala daya upaya memperebutkan kursi ke Senayan.
Dari kesemua nama, rata-rata memiliki modal sosial yang cukup kuat untuk bertarung. Mereka memiliki basis yang kuat hingga kemudian memberanikan diri untuk maju ke Senayan. Modal sosial lokal Gorontalo yang mereka miliki adalah basis keluarga dan pertemanan, nilai, kepercayaan, integritas, kapasitas, skill dan hal-hal lainnya. Soal “nama”, sebagian besar dari mereka memang telah memiliki “nama”, dan terekam dengan baik di benak masyarakat. Rata-rata memiliki konstituen yang fanatik.
Geliat Partai
Golkar adalah pengumpul suara pemilu terbanyak di tahun 2014 dengan perolehan suara sebesar lebih dari 300 ribu. Ini juga diperkuat dengan dukungan penuh kepala daerah seperti Gubernur Gorontalo, Bupati Pohuwato dan Walikota Gorontalo. Termasuk basis daerah Golkar yang yang selama ini telah puluhan kali teruji dalam Pemilu dan Pilkada. Golkar dengan memajukan dua tokoh kunci seperti Roem Kono dan Ida Syaidah menargetkan suara yang signifikan.
Begitu halnya dengan Nasdem yang memiliki dukungan partai dan elit yang handal disertai dengan struktur pemenangan yang rapi. Nasdem yang kini memiliki dukungan kepala daerah seperti Bupati Bone Bolango dan Bupati Gorontalo Utara akan menargetkan perolehan suara yang lumayan. Apalagi ditopang dengan ketokohan Rachmat Gobel, basis politik Rustam Akili hingga basis politik Feriyanto Mayulu mantan Wakil Walikota, suami Lola Yunus.
Gerinda yang kini memiliki satu kursi di DPR RI akan menargetkan kembali suara yang meningkat dibanding pemilu sebelumnya. Elnino Mohi yang banyak didukung aktivis muda yang tergabung di Elnino Centre sepertinya telah memiliki pola berbeda dengan pola door-to-door yang selama ini dilakukan. Gerindra juga kini memanfaatkan efek “ekor jas” Pilpres dan basis selama periode sebelumnya hingga kekuatan jaringan aktivis yang dikerangkai.
Pun hampir sama dengan basis PDI Perjuangan yang selama ini telah memiliki kepala daerah seperti Wakil Bupati Pohuwato dan Bupati Boalemo, termasuk efek “ekor jas” dari Pilpres. Perolehan suara 2014 untuk DPRD Kabupaten/Kota dan Provinsi sepertinya akan dimaksimalkan lebih dalam menargetkan satu kursi. Apalagi ditambah dengan basis ideologis puluhan tahun dari PNI yang dibangun oleh Nani Wartabone.
Demikian halnya dengan Demokrat yang bermodalkan ketokohan Gusnar Ismail yang juga mantan Gubernur Gorontalo. Ini akan ditambah dengan modal nama besar mantan Presiden SBY yang menjabat selama dua periode. Dukungan ini juga akan mereka peroleh dari kerja aktif caleg hasil Pemilu 2014 lalu.
Modal jaringan tarbiyah dengan jumlah liqa’ di Gorontalo adalah modal utama PKS. Rapinya jaringan ini tentu akan mereka maksimalkan jelang Pemilu 2019. Begitu juga dengan solidnya kekuatan ibu-ibu yang kemudian menjelma menjadi power of emak-emak di Pilpres 2019 adalah sokongan kental untuk PKS.
Langkah yang serupa dengan akan dimaksimalkan PPP. Modal nama besar mantan Gubernur Gorontalo dua periode akan dijadikan jangkar untuk menggaet pemilih bagi Hana Hasanah. Termasuk dukungan penuh dari Bupati Gorontalo yang juga Ketua DPW PPP. Ini akan ditambah dengan basis tradisional yang selama puluhan tahun terbangun.
PAN akan bermodalkan suara Zainudin Hasan dan Adhan Dambea yang dulu pernah mereka reguk di Pilgub 2017. Begitu juga dengan jaringan bisnis yang akan mereka maksimalkan.
Kesekian partai tersebut adalah yang memiliki peluang besar dibandingkan dengan partai yang tidak disebutkan. Itupun di antara partai-partai diatas akan terseleksi lagi jelang beberapa hari kedepan jelang 17 April 2019.
Dari kesemuanya, tentu tidak memungkinkan untuk semua partai di atas meraih kursi ke Senayan. Akan ada yang tersingkir. Peluang itu akan terseleksi dengan beberapa kondisi, khususnya bagi siapa yang memiliki “nafas panjang”, jaringan kuat, pendanaan tak terbatas, hingga kinerja yang memuaskan publik, pasti akan mudah melenggang ke Senayan.
Bukan hanya itu, sangat besar kemungkinan diantara antar nama-nama diatas untuk “main kayu”. Cara tersebut biasa dilakukan sebagai “jalan pintas” dibanding menyiapkan atau mengelola “nafas panjang” yang lebih rumit. “Main kayu” adalah instrumen lama tapi di daur ulang kembali untuk menggergaji lawan politik yang susah dibanting.
Ambang Batas
Perlu diingat bahwa ambang batas (parliamentary threshold) pada pemilu 2019 adalah sebesar 4% dari suara sah. Hasil survey dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan Februari 2019 menunjukkan bahwa ada sembilan partai yang terancam tidak lolos ke Senayan, lima di antaranya adalah partai lama, yaitu PPP, PAN dan Hanura, PBB dan PKPI. Sementara empat partai baru yakni, Perindo, PSI, Garuda dan Berkarya.
Merujuk hasil survei Februari 2019 itu, ada dua partai yang kemungkinan besar tidak lolos yakni PPP dan PAN. Jika ini berlanjut, kemungkinan besar Hana Hasanah dan Zainudin Hasan tidak akan dihitung perolehan suaranya, sebesar apapun yang mereka raih.
Legitimasi
Kondisi ini jika merujuk pada survei LSI akan menyisakan enam partai yakni Golkar, Nasdem, Gerindra, PDI Perjuangan, Demokrat, dan PKS. Dari keenam partai ini, akan diurut lagi siapa saja yang akan lebih berpeluang meraup suara yang besar.
Bagi PDI Perjuangan dan PKS walaupun modal sosial kuat, jaringan yang luas dengan kekuatan ideologi yang militan, namun nama-nama caleg dari kedua partai ini perlu membuktikan lagi kinerja di lapangan untuk meyakinkan meraih legitimasi publik secara menyeluruh, dibanding dengan nama-nama caleg dari Golkar, Nasdem, Gerindra dan Demokrat.
Jaringan, Struktur dan Dana
Ketika kita mengurai lagi keempat partai yang berkemungkinan besar meraih tiga kursi ke Senayan, mesti dikalkulasi lagi soal jaringan kepartaian, soliditas struktur kepartaian hingga pendanaan. Dari keempat partai ini, sepertinya Demokrat perlu memperkuat kembali jaringan sosial, pendanaan dan struktur kepartaian hingga tingkat bawah. Modal nama besar Gusnar Ismail sebagai mantan Gubernur dianggap belum mampu mengangkat perolehan suara untuk meraih satu kursi ke Senayan. Begitu juga dengan nama besar Presiden SBY yang “jauh” dari benak rakyat Gorontalo.
Sehingga, kemungkinan besar hanya tersisa tiga partai yang lebih berpeluang merebut tiga kursi ke Senayan yakni Golkar, Nasdem dan Gerindra. Ketiga partai ini memiliki caleg dengan nama besar yang tidak diragukan lagi. Begitu juga dengan struktur kepartaian dan jaringan sosial yang memadai.
Dukungan Kepala Daerah dan Efek Ekor Jas
Namun di antara ketiga partai ini, hanya Golkar dan Nasdem yang memiliki dukungan Kepala Daerah memiliki basis wilayah. Golkar ditopang Gubernur Gorontalo, Walikota Gorontalo dan Bupati Pohuwato. Nasdem ditopang oleh Bupati Bone Bolango dan Bupati Gorontalo Utara.
Bagi Gerindra, efek “ekor jas” dengan majunya Prabowo dan Sandiaga Uno di Pilpres adalah “hadiah” besar. Dalam teori efek ekor jas atau coattail effect, limpahan suara hanya dimiliki oleh partai yang memiliki kandidat presiden. Dalam konteks Gorontalo, hal ini hanya dimiliki Gerindra dibandingkan Golkar dan Nasdem. Apalagi Sandiaga Uno adalah representasi Gorontalo dalam Pilpres 2019. Kebanggaan warga Gorontalo memiliki warganya yang bertanding di pilpres adalah hal yang jarang terjadi, ini adalah potensi efek ekor jas yang lebih besar jika bisa dikelola lebih militan. Gerindra juga memiliki tim muda yang memiliki militansi tinggi yang ideologis dibandikan Golkar dan Nasdem, terlihat dari gerakan door-to-door yang kini sedang dilakukan oleh setiap Caleg Gerindra.
Konversi Suara; Dari Kuota Hare Ke Saint League
Apapun usaha dan daya upaya yang sedang dikerahkan, pileg tahun ini menggunakan metode konversi suara yang tidak lagi sama dengan Pileg 2014 (kuota hare) tapi sudah menjadi saint league.
Jika kita berkaca pada hasil Pemilu 2014 dengan Kuota Hare, tiga kursi ke Senayan terbagi pada dua partai yakni Golkar meraih dua kursi (310.589 suara) dan satu kursi untuk Gerindra (49.342 suara). Namun jika kita simulasi lagi hasil perolehan suara partai pada Pemilu 2014 dengan metode konversi suara saint league yang digunakan pada Pemilu 2019, maka kemungkinan besar dengan sistem baru, tiga kursi diborong oleh 1 parpol saja. Jika pada Pemilu 2019 ini Golkar bisa mempertahankan perolehan suara hampir sama dengan Pemilu 2014, maka kemungkinan besar tiga kursi akan diraih.
Dari kalkulasi matematik berdasarkan pada data sekunder baik hasil survey terkini dan metode perhitungan suara terbaru, maka peluang besar akan diraih Golkar. Namun, perlu disadari bahwa geliat Nasdem yang semakin meningkat serta “hadiah” efek pilpres bagi Gerindra dan militansi door-to-door tentu akan mengimbangi perolehan suara Golkar.
Di sisi lain, hasil survei Survei Cyrus Network pada bulan Februari 2019 juga memperlihatkan, bahwa hanya sekitar 40 persen pemilih yang terkoneksi dengan informasi di telapak tangan mereka, baik itu media sosial maupun aplikasi pesan berantai seperti WhatsApp dan Line. Sisanya, 60 persen belum bersentuhan dengan sumber-sumber informasi. Artinya masih banyak pemilih yang masih “menunggu” ketukan caleg dan kader partai pada 40 hari yang tersisa.
Partai-partai mesti mengerahkan segala upaya untuk bisa meraih minimal 100 ribu suara untuk bisa meraih satu kursi ke Senayan. Angka itu adalah angka minimal yang harus diperjuangkan jika ingin selamat pada 17 April 2019 nanti.
Pemenang Yang Ke Senayan
Sampai mesin politik berhenti, hanya tiga kandidat yang keluar sebagai pemenang di DPR RI, yaitu Ida Syaidah (Golkar), Rachmat Gobel (Nasdem) dan Elnino Mohi (Gerinda). Artinya, politikus yang bertahan bertengger di Senayan untuk kedua kalinya adalah Elnino Mohi, sedangkan dua lainnya tersingkir dan digantikan politikus baru, Ida Syaidah (Golkar), Rachmat Gobel (Nasdem). Ketiganya yang memiliki basis yang kuat dan ketahanan logistik dan kemampuan mengolah isu kedaerahan, apakah lagi-lagi mampu memajukan daerah sesuai tupoksi kinerja yang diberikan dan diamanahkan kepada ketiganya.
Begitu pula yang mengisi kursi di DPD RI, dari puluhan caleg hanya empat yang memasuki Senayan dengan 3 pemain bertahan dan satu pendatang baru, yakni Fadel Muhamad dengan suara terbanyak.
Leave a Reply