funco.id

Work, Struggle, and Pray

Rektor UNG dan Tantangannya

Setelah terkatung-katung selama beberapa bulan, akhirnya pada Selasa 17 September 2019, terpilihlah Dr. Eduart Wolok, ST., MT sebagai Rektor Universitas negeri Gorontalo untuk periode 2019–2023. Eduart terpilih dengan 63 suara dengan menyisihkan Mahludin Baruwadi 41 suara, sementara Ani Hasan tidak meraup suara. Eduart terpilih di tengah harapan akan perubahan di UNG yang semakin mendesak salah satunya untuk menggenjot daya saing Indonesia ke depan. Perubahan nama dari STKIP ke IKIP hingga ke UNG rupanya masih memerlukan upaya yang lebih substantif di level kelembagaan dan akademik.

Kepercayaan dan ekspektasi yang ada sangat besar. Momentum ini harus dimanfaatkan rektor terpilih untuk melakukan terobosan dan membangun institusi pendidikan yang kuat di tingkat regional, nasional bahkan internasional di tengah daya saing yang mesti kita akui bersama mulai mengalami pelemahan. Apalagi UNG saat ini sedang berupaya menggapai visi menjadi leading university di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2035. Visi yang bukan mustahil, namun memerlukan kerja keras, kerja sama dan pengorbanan secara kolektif.

Daya Saing

Berdasarkan The Global Competitiveness Report tahun 2019, Indonesia berada pada urutan ke-32. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Singapura (peringkat 3), Malaysia (peringkat 22), dan Thailand (peringkat 25). Posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara ini tentunya akan berdampak pada skor Universitas Negeri Gorontalo dalam hal daya saing.

Universitas Negeri Gorontalo sendiri dalam hal daya saing khususnya di indeks Webometrics, di tahun 2019 berada di posisi ke 96 dibandingkan universitas lain di Indonesia. Pada tahun ini, peringkat UNG lebih rendah dibandingkan Universitas Tadulako Palu (peringkat 24), Universitas Sam Ratulangi Manado (peringkat 26), Universitas Halu Oleo Kendari (peringkat 44), dan Politeknik Negeri Ujung Pandang (peringkat 67). Peringkat ke – 96 ini bahkan lebih rendah dari peringkat UNG sendiri di tahun 2015 yakni peringkat ke 47. UNG terus terang mengalami penurunan indeks yang luar biasa dalam lima tahun terakhir.

Dalam pengelolaan jurnal misalnya, UNG bahkan lebih rendah dari IAIN Sultan Amai. Dalam indeks SINTA (Science and Technology Index), terlihat bahwa IAIN kini memiliki jurnal yang telah terindeks di kategori 2 SINTA. UNG belum memiliki sama sekali jurnal yang telah terakreditasi.

Dalam tiga indeks sederhana di atas terlihat bahwa rektor UNG terpilih mesti bekerja keras dan memeras keringat untuk bisa berdaya saing di level lokal dan regional Sulawesi. Apa yang menjadi harapan di 2035, mesti dicicil dalam kerja-kerja yang bersifat kolektif sedari sekarang. UNG mesti bisa menjadi yang terdepan di Sulawesi, di kawasan Teluk Tomini, di kawasan Utara Indonesia. Posisi strategis UNG yang berada dalam kawasan utara Indonesia dan Teluk Tomini menjadi potensi yang bisa dikerangkai untuk menjadi modal besar dalam menghadapi agenda 2035.

Menuju Magistrium Ex Scholarium

Konteks kelahiran universitas di dunia ini dikarenakan adanya harapan magistrium ex scholarium, yakni adanya tempat berdebatnya para ilmuan demi menghasilkan pemikiran demi perubahan ke arah kebaikan. Universitas dengan spirit tersebut diharapkan menjadi tempat pengajaran, penelitian, diskusi, perdebatan, serta memproduksi pengetahuan. Namun, universitas yang seharusnya menjadi magistrium ex scholarium, ditengarai telah berubah fungsi menjadi ruang kompetisi kekuasaan struktural. Sehingga tradisi intelektual pun hancur oleh orientasi-orientasi demi melanggengkan posisi dan kedudukan.

Belakangan pula, tampak semakin marak fenomena intelektual hazart menggeliat di universitas. Di universitas, yang terbangun adalah disorientasi tujuan. Yang terjadi adalah orientasi dan pengejaran yang bersifat artificial, maka tradisi intelektual tidak berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar situasi ini tidak terlanjur parah yang ujung-ujungnya akan membuat keilmuan mati perlahan seiring disorientasi para ilmuwan. Heru Nugroho, sosiolog UGM Yogyakarta, memberikan perspektif yang solutif untuk hal ini: pertama, pembangunan dan penguatan kelembagaan baik itu berupa kesejahteraan staff pengajar, pemberian fasilitas yang memadai sehingga dosen betah di kampus, dan pembuatan regulasi yang ketat sehingga fasilitas yang diberikan berbanding lurus dengan kerja-kerja yang dilakukan. Kedua, memperkuat moralitas dan komitmen. Langkah taktis adalah membangun dewan kode etik. Ketiga, sikap asketis yaitu sikap untuk bersemangat menahan godaan kekuasaan dan semangat untuk terus tekun melakukan penelitian-penelitian demi penemuan teori-teori baru.

Dalam hal membangun daya saing dan juga merespon tantangan baik di level regional dan global, universitas dalam hal ini UNG tidak boleh menutup mata mengenai upaya universitas lain dalam hal kompetisi regional dan nasional hingga global. Dalam cuaca persaingan regional, nasional bahkan global yang semakin panas, ada beberapa tantangan yang mesti di taklukkan di antaranya, (a). Regulasi akademik yang dijabarkan dalam academic ethics.

Moral yang dalam beberapa waktu terakhir hanya menjadi pelengkap visi/misi kini harus dijabarkan dan dioperasionalkan dalam aplikasi teknis. Pengajaran mesti dilandasi oleh moralitas yang kuat, agar menghasilkan manusia, bukan lagi sarjana yang menenteng map berisi gelar akademik. (b). Efisiensi, menyangkut pengetatan anggaran dan pembiayaan yang terlalu banyak dimakan oleh belanja dosen/pegawai/administrasi, (c). Inovasi, perihal inovasi UNG mesti diakui berada di deretan terakhir pada setiap skoring institusi pendidikan tinggi, (d). Penguatan institusi, berkaitan dengan revitalisasi kelembagaan baik di level administratif maupun akademik, level administratif mestinya lebih banyak menjadi supporting system bagi academic life dibanding menjadi otorita yang lebih kuat, (e). Infrastruktur akademik, ini berkaitan dengan revitalisasi infrastrastruktur yang selama ini berada dalam bingkai keluhan (ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, fasilitas kesehatan, landmark, fasilitas spiritual seperti masjid dll). 

Rekonsiliasi Untuk Integrasi

Yang urgen berikutnya adalah integrasi. Saya percaya dan yakin, bahwa ini bisa dikonsolidasi “kembali” jika hal-hal yang bersifat personal dileburkan dalam semangat komunitas. Lembaga tidak bisa dipersonifikasi pada seseorang atau sebagian kelompok. Konteks kelahiran UNG bukan atas dasar kesukuan, agama dan wacana lokalitas lainnya. UNG lahir karena “sesuatu yang dibayangkan”. Sesuatu yang dibayangkan adalah sebuah komunitas yang dibayangkan karena, pada dasarnya, elemen yang satu dan lain tidak saling mengenal. Namun, dalam hati masing-masing elemen ada keterkaitan (persaudaraan yang horizontal). Persaudaraan yang horizontal ini diharapkan bisa menjadi proyek bersama yang mengandaikan adanya trust tentang masa depan bersama yang berujung kepada solidaritas. Artinya, fondasi kelahiran adalah semangat persaudaraan, nilai yang semestinya di awal periode mulai dipupuk dan ditumbuhkembangkan.

 

Jadi dengan demikian, kontestasi pemilihan Rektor semestinya didudukkan pada konteks yang transformatif. Bagaimana hasil pemilihan Rektor bisa mendorong universitas selain menjadi pabrik pengetahuan juga menjadi ruang produksi intelektual organik sebagaimana yang diharapkan oleh Antonio Gramci, yakni menjadi penghubung antara abstraksi teori dengan realitas praktis agar tak menjadi menara gading.

 

Tulisan ini semata-mata sebagai self reflection seorang warga Universitas yang ingin melihat Universitas menjadi pelopor dalam kemajuan peradaban. Pemikiran ini sebagai penggugah agar kita tidak terus tergoda dalam skenario relasi kuasa-ekonomi-politik, namun segera bangkit melakukan pembangunan sisi akademik. Tantangan begitu banyak, kerja-kerja kolektif perlu disemai dan diperkuat. Tugas penting adalah menjadikan Universitas sebagai institusi akademik yang mencerdaskan bangsa, bukan kendaraan kepentingan-kepentingan ekonomi politik pribadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *