Hampir semua kota di Indonesia sejak 2015 mulai menggalakkan atau menjadikan smart city sebagai model pengelolaan kota. Di Sulawesi, beberapa daerah juga mulai mendorong hal tersebut dalam rangka meningkatkan pengelolaan kota. Di Makassar, Manado, Tomohon, Kotamobagu dan Gorontalo adalah kota-kota di Sulawesi yang menjadikan smart city sebagai model pengelolaan daerahnya masing-masing.
Smart city sebagai sebuah model memang merupakan pendekatan yang relatif baru di Indonesia. Pada intinya, sebagai sebuah model, smart city adalah instrumen penting dan ikhtiar kota-kota di Indonesia untuk mem-bypass masalah yang semakin tinggi sebagai konsekuensi dari pertumbuhan penduduk baik karena fertilitas yang tinggi juga karena urbanisasi yang luar biasa pesat.
Dalam berbagai proyeksi, pertumbuhan jumlah penduduk di kota-kota, diperkirakan tahun 2040 ada sekitar penumpukan jumlah penduduk sebesar 30% tinggal di desa, sisanya 70% tinggal di kota. Konsekuensi logis dari itu adalah jumlah problem kota juga meningkat. Jika diurai, problem kota di berbagai sektor juga meningkat, misalnya jumlah timbulan sampah yang meningkat, transportasi yang semakin rumit, pelayanan birokrasi yang kompleks, keamanan yang rawan, kualitas udara yang memburuk, kualitas hunian yang semakin rendah dan banyak problem perkotaan lainnya.
Dalam rangka itu, beberapa lembaga think-tank dan universitas mulai mendorong model pengelolaan kota dengan pendekatan yang holistik, baik itu pendekatan keteknikan, psikologi, sosiologi, politik, environment, hingga pendekatan teknologi informasi. Model holistik ini banyak disebut sebagai smart city.
Selain sebagai model, smart city juga adalah visi kota. Sebagai sebuah visi, tentu dalam mencapai itu memerlukan tahapan dan kerangka kerja. Suhono Harso Supangkat sebagai salah satu pelopor smart city di Indonesia membagi pentahapan smartcity dalam lima kategori atau tahapan; (1). Ad Hoc. (2). Initiative. (3). Scattered. (4). Integrative dan tahapan terakhir adalah (5). Smart city. Suhono menamai model ini sebagai model Garuda smart city, sebagai model pengelolaan kota yang berciri khas Indonesia. Ada pula model-model lainnya yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir smart city lainnya baik di Indonesia maupun di negara lain.
Bappenas pun mendorong smart city sebagai model pengelolaan kota sekaligus sebagai visi kota Indonesia di tahun 2045. Agar desain smart city di Indonesia memiliki model yang berstandar sama, namun berciri khas daerah masing-masing.
Dalam smart city itu sendiri memiliki berbagai dimensi antara lain: smart government, smart mobility, smart environment, smart building, smart living, smart transportation, dan berbagai dimensi lainnnya. Dalam dimensi-dimensi tersebut, pendekatan teknologi informasi menjadi “salah satu” instrumen dalam hal memperkuat dimensi tersebut. Namun, harus diakui bahwa frekuensi pengetahuan dan wawasan, baik pemerintah, stakeholder hingga masyarakat tentunya beragam dalam memahami smart city sebagai sebuah model dan juga visi kota. Ada yang menganggap bahwa smart city adalah pekerjaan satu bulan, satu tahun dan jika boleh harus sekejap mata, jika tidak maka smart city dianggap gagal. Padahal, sebagai sebuah model dan visi, tentu hal ini memerlukan pentahapan agar bisa terealisasi.
Sebuah visi, tentu memerlukan tahapan atau kerja awal. Di Indonesia sendiri, sebagian besar kota-kota baru berada di tahapan adhoc dan initiative. Kota-kota besar dan metro seperti Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, Bogor, Tangerang sudah berada di level menuju integrative. Kota-kota yang berada di kategori scattered seperti Makassar, Pekanbaru, Malang, dan beberapa kota lainnya. Kota seperti Manado, Gorontalo, Medan, Tomohon dan beberapa kota lain berada dalam kategori initiative.
Dalam banyak kasus, smart city dianggap adalah tanggung jawab pemerintah. Padahal, dari muasalnya konsep ini ditelurkan dan digagas di beberapa kota dunia seperti di Barcelona, Rio de Janeiro, Waseda, dan banyak kota sukses lainnya menyelenggarakan smart city, tanggung jawab smart city itu adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya pemerintah semata. Di beberapa negara tersebut, dibentuk smart city council sebagai lembaga bersama pemerintah, universitas, masyarakat, komunitas dan bisnis. Karena itu, prasyarat smart city adalah adanya collaborative-city.
Di beberapa kota seperti Barcelona, Rio, Waseda dan banyak kota lainnya, tahapan menuju smart city membutuhkan waktu sekitar 20-30 tahun. Prasyarat utama kesuksesan agenda ini adalah kolaborasi antar stakeholder. Tanpa itu, perwujudan agenda smart city tentu akan sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Tentu sebagai sebuah ikhtiar perbaikan dan peningkatan kualitas kota-kota di Indonesia, agenda smart city penting untuk didorong dan diperkuat semangat kolaboratifnya. Jika tidak, kota-kota di Indonesia akan semakin jauh dari visi kota yang sejahtera, maju dan adil dalam hal pengelolaan dan juga pencapaian agenda.
Leave a Reply