“Di sini kami berdiri di ambang subuh jaman baru, jaman yang akan membawakan terang ke seluruh tanah air. Dan sekali jaman itu terbit, akan lebih banyak dituntut perjuangan, penderitaan, berperang dan memenangkannya”
—Kartini, Een Gouverneur-Generaalsda
Surat Kartini begitu telak. Ia menegaskan mengenai zaman. Zaman yang menuntut perjuangan dan penderitaan itu, dibutuhkan sikap patriot. Demikian pula dengan Gorontalo. Sebuah jazirah yang beriktiar untuk disebut sebagai Serambi Madinah. Ada terselip doa dalam ikhtiar itu. Ikhtiarnya agar peradaban Gorontalo minimal bisa meneladani kehidupan di Madinah, kota tempat Nabi Muhammad memproklamirkan sekaligus mempraktikkan serta mewujudkan peradaban yang berakhlak tinggi dan mulia.
Cita-cita mulia tersebut lalu mewujud menjadi agenda perjuangan sejak era kolonial. Banyak darah yang tumpah di tanah ini, ada ribuan batang kepala yang ditebas, dan ribuan liter air mata yang bercucuran, untuk tujuan mulia itu; menegakkan Gorontalo diatas adat yang bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah. Hal ini pun menantang segenap anak bangsa Gorontalo untuk melakukan upaya yang tidak biasa. Hal yang tidak biasa tersebut lalu terwujudkan dalam upaya menggagas perguruan tinggi negeri di Gorontalo.
Kronik UNG
Dalam mewujudkan hal itu, pada medio 1963, tepatnya pada 22 Juni, lahirlah Junior College FKIP Universitas Sulawesi Utara-Tengah (UNSULUTTENG) Manado di Gorontalo. Junior College ini lahir berdasarkan surat keputusan Pejabat Rektor UNSULUTTENG Nomor 1313/II/E/63. Lalu sebulan kemudian, berubah menjadi Cabang FKIP UNSULUTTENG di Gorontalo berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 67 tahun 1963. Kelembagaan pun mengalami perubahan menjadi IKIP Manado Cabang Gorontalo berdasarkan SK Menteri PTIP Nomor 114 Tahun 1965 pada tanggal 18 Juni 1965. Dalam dua tahun, perkembangan kelembagaan baik dari konstruksi organisasi hingga nama pun berubah dua kali.
17 tahun kemudian, model kelembagaan dan nama pun berubah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 70 pada tanggal 7 September 1982 menjadi FKIP UNSRAT Manado di Gorontalo. Hingga 11 tahun kemudian kelembagaan menjadi lebih mandiri dengan Keputusan Presiden Nomor 9 tahun 1993 berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP).
Pasca Gorontalo menjadi provinsi, 8 tahun setelah menjadi STKIP, berubahlah nama menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) pada 5 Februari 2001 dengan Kepres RI Nomor 19 tahun 2001. Tiga tahun setelah itu, melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2004 pada tanggal 23 Juni 2004, resmi menjadi Universitas Negeri Gorontalo (UNG).
Pada zaman itu, pada masa setelah “kungkungan” Sulawesi Utara, upaya untuk mengembalikan kebanggaan akan identitas ke-gorontalo-an adalah tantangan yang cukup serius. Identitas yang “berhamburan” sesaat masih dengan Sulawesi Utara menjadi sesuatu yang sangat penting untuk ditegakkan. Ruang demokrasi yang terbuka menghendaki seluruh struktur untuk ikut menyesuaikan dengan nafas publik. UNG pun turut melakukan transformasi kelembagaan dalam rangka itu.
Gorontalo Kita
Hari ini, kondisi Indonesia yang kompleks di tengah krisis global yang di depan mata, target penerimaan pajak yang rendah, pemangkasan anggaran yang besar, kriminalitas meningkat, mutu pendidikan semakin rendah walaupun angka partisipasi naik. Pada keadaan yang sama, penyakit menjadi pandemi, kemiskinan menggurita, kerusakan lingkungan terus terjadi.
Seturut dengan itu, perkembangan kebudayaan Gorontalo berada di tubir peradaban, tak jelas mengarah kemana. Semua bersifat simbolik, penuh gempita dan mesti diiringi baliho serta tepuk tangan. Memasuki “palung” peradaban ini, banyak gedung-gedung bersejarah terancam dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Seperti tak ada rasa syukur akan identitas kesejarahan Gorontalo di masa silam. Pemertahanan bahasa terbengkalai. Penghayatan sejarah silam terbenam.
Pada kondisi yang lain, perebutan kekuasaan melalui pesta lima tahunan seperti perayaan pesta bandit dan begundal yang tak punya perasaan. Demokrasi dikangkangi untuk kepentingan segelintir orang. Hasilnya apa? Pesta pora demokrasi hanya melahirkan elit politik yang kerjaannya hanya memburu penghargaan dan tepuk tangan. Tak ada niat baik untuk memperbaiki daerah ini.
Kondisi ini secara implisit menegaskan bahwa publik adalah target dipasifkan. Publik dianggap puas dengan gelembung citra. Kerja-kerja negara masih bersifat jangka pendek. Masih sebatas public-centric.
Dalam kondisi ini, posisi strategis UNG menjadi ruang penyemaian demokrasi dan pemertahanan kebudayaan Gorontalo penting untuk ditegaskan kembali.
UNG Adalah Agenda
Tahun ini, di bulan September 2019, UNG tepat berusia 56 tahun. UNG adalah perguruan tinggi yang dikembangkan berdasarkan prinsip perluasan mandat (wider mandate). Selama kurun waktu itu, UNG telah mengalami enam kali perubahan nama, dan telah mengalami delapan kali pergantian pimpinan. Banyak hal yang berubah, banyak pula hal yang telah dicapai.
Dalam pada itu, selama 56 tahun berlangsung. Dan pada masa setelah itu, UNG masih berorientasi kepada institutional centric. UNG pada akhirnya mengadopsi model Badan Layanan Umum (BLU). Tujuan itu pun berhasil pada masa sekarang.
Dalam kondisi yang seperti sekarang ini, UNG tidak cukup hanya menjadi institusi saja, tetapi UNG harus menjadi “agenda”. Perlu ditegaskan bahwa UNG penting untuk menjadi “agenda” yang merayakan aspirasi, nilai-nilai dan human spirit. Pendekatan pembangunan tidak bisa fisik semata, apalagi hanya berorientasi “mencapai target serapan anggaran”. Mesti lebih dari itu.
UNG adalah agenda untuk masa yang bergolak. Prinsip masa ini dibentuk dari segitiga faktor; partisipasi yang semakin aktif dan horizontal (digital to konvergen), paradoks globalisasi, dan semakin kreatifnya kaum milenial. Dalam saat yang sama, orientasi gen-X dengan model analog perlu ditransformasi menjadi lebih adaptif terhadap kondisi kekinian dan kebutuhan Gorontalo hari ini.
UNG juga adalah agenda dimana new wave technology menjadi kekuatan penggerak. Inti gerakan ada pada values-driven. Values yang bagaimana? Dan seperti apa? Metodenya seperti apa? Values yang dimaksud adalah kumpulan modal sosial lokal Gorontalo yang mesti digali kembali; huyula, bilohe, tolianga, hulunga, himbunga, timoa, depita, bayawa, bubaya, hiyo, palita, tiayo, heyiya, dan banyak modal sosial lainnya.
Prinsip lokal diatas adalah values-driven yang bisa diterjemahkan menjadi political-driven, economic-driven dan social-driven. Bukti keberhasilan modal sosial Gorontalo ada pada “hulunga”, yakni model bekerja bersama seluruh masyarakat secara partisipatif. Hasil dan bukti dari sistem “Hulunga” ini bisa kita saksikan pada saluran irigasi Tanggidaa yang dibangun pada 6 Sya’ban 1140 H atau 19 Juni 1728. Begitu juga dengan dembula, yakni model saling memberikan bantuan tanpa balasan dalam prosesi kematian, pernikahan dan lain-lain.
Pada kondisi dan situasi kekinian, UNG sebagai mesti menggabungkan agenda political-driven, economic-driven dan social-driven. Penggabungan modal sosial ini telah menyejarah dan ada bukti fisiknya. Contoh diatas adalah bukti bahwa pada masa lalu, values-driven telah terbukti bisa menyatukan derap Gorontalo, baik untuk menyatukan masyarakat maupun bisa membangkitkan partisipasi publik. Berbeda dengan kondisi saat ini yang bisa kita dengar di kampung-kampung “mapilo biyasa liyo lo doyi wanu dila jamo karaja”.
Menyambung Masa, Menjahit Periode
Torehan kisah masa lalu UNG selama 56 tahun yang silam dan segala bukti historisnya adalah penting untuk direfleksikan secara komprehensif dan kolaboratif. Perlu adanya upaya menjahit semangat kolaborasi antar masa dan antar periode. Tanpa itu, kita hanya berada pada sintesis dendam kesumat antar periode. Sebagai contoh, setiap ganti pemimpin, selalu ganti tema, ganti kulit dan jika perlu ganti spirit. Sejarah itu tidak bisa diperlakukan sebagai benda, tapi sebagai memori untuk pengalaman sebagai guru di masa depan.
Situasi yang saat ini sedang bergolak perlu adanya perenungan secara mendalam, sejarah kita punya keberhasilan dalam mengelola gejolak di masa itu tanpa harus mempertaruhkan prinsip kolektif. Mereka bisa beradaptasi dan berkolaborasi di tengah keterbatasan sumber daya.
Di era saat ini dimana perlu ada peneguhan kembali soal sikap bersama, many to many. Bukan lagi one-to-one apalagi one-to-many. Dunia saat ini adalah dunia kolaboratif. Semangat itu yang mesti dijadikan prinsip kerja bagi semua lapisan.
Kondisi yang bergolak tidak bisa diubah dengan cara berpikir satu dan dua orang, atau beberapa kelompok. Momentum kontestasi perlu dikelola sebagai agenda merayakan gagasan untuk kebaikan, kecuali memang tidak ada niat untuk mewariskan kebaikan dan sumberdaya bagi generasi di masa akan datang. Pada niat yang terakhir ini, generasi akan datang hanya akan bisa mengutuk kita yang berada di masa kini.
UNG adalah agenda untuk mengekstrak values di masa lalu dan “menikahkannya” dengan spirit new wave technology di masa kini. Sebagaimana kreatifitas leluhur kita di masa lalu yang penuh keterbatasan, namun bisa mencetak banyak karya, tapi tetap menjamin kekentalan kekerabatan satu sama lain. Berbeda dengan kondisi saat ini, tarik menarik legitimasi jangka pendek misalnya untuk agenda lokal telah mengakibatkan kerakusan dan kemerosotan nilai dan pada akhirnya mewariskan jejaring dendam yang tak pernah usai.
Maka, menjatuhkan pilihan prinsip dan agenda untuk masa depan adalah hal genting untuk segera dilaksanakan. Keterpilihan rektor yang baru adalah energi baru untuk merawat warisan kebaikan pada generasi masa depan.
Keterpilihan Rektor baru seperti apa yang telah ditegaskan oleh Kartini di masa hidupnya. UNG hari ini adalah masa memasuki “ambang subuh zaman baru”. Zaman yang akan diharapkan membawakan terang. Dan sekali zaman itu terbit, akan lebih banyak dituntut perjuangan, penderitaan, berperang dan memenangkannya. Semoga, zaman ini beroleh keberkahan selalu.
Selamat memasuki zaman baru UNG, zaman kreatif sekaligus abad yang menantang! Semoga kita segera meninggalkan annus horribilissimus ini dan segera memasuki annus mirabilis.
Leave a Reply