Hingga hari ini, jumlah warung kopi di Gorontalo semakin tumbuh. Menurut perhitungan kasar, lebih dari 300 warung kopi yang bertebaran di Gorontalo. Semakin bertebarnya warung kopi di Gorontalo semakin mengukuhkan bahwa oral tradition (tradisi lisan) sangatlah kental. Tradisi ini bukan tradisi baru di Gorontalo, ini adalah bagian warisan kebudayaan luhur Gorontalo.
Tradisi Lisan dan Memori Kolektif Kita
Mempercakapkan semua hal bagi masyarakat Gorontalo adalah perilaku masyarakat Gorontalo sejak sebelum kolonial. Menjadi wajar jika tradisi tulis di Gorontalo agak dan bahkan sangat kurang. Jumlah buku dan tulisan sejak era itu hingga sekarang masih berjumlah ratusan. Tradisi lisan di Gorontalo berbentuk lohidu, tanggomo dan sebagainya adalah warisan kebudayaan masa lalu yang hingga kini masih bisa kita dengar. Dalam arena yang lain, Buruda, Tulunani, Meeraji dan Dikili menjadi “booster” tradisi itu. Pada konteks hari ini, tradisi lisan ini semakin bersemai seiring dengan menjamurnya warkop di Gorontalo. Banyak warkop yang hadir untuk memfasilitasi sekaligus menangguk untuk yang lumayan.
Masyarakat Gorontalo juga senang memperbincangkan politik bukan karena memang lagi musim pilkada atau pemilu, hampir di setiap rumah, kios dan warkop membicarakan ini. Tidak saja politik, tetapi semua isu yang sedang hangat senantiasa diperbincangkan. Tradisi ini lalu berkembang dan mempunyai “label” seperti; karlota, kepo, dan berbagai macam istilah lainnya. Hal ini bukan terjadi secara otomatis dan baru saja terjadi, namun ada proses sosio-historis yang melandasi memori kolektif ini.
Dalam kacamata sosio-historis, perang fisik antara Limutu (Limboto) dan Hulondalo (Gorontalo) telah melahirkan banyak korban, baik jiwa dan materi. Perang di kala itu memakan ongkos yang tidak sedikit. Bagi Popa dan Eyato, perang ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, harus ada titik temu dan jalan keluar. Popa dan Eyato lalu mencarikan titik temu dan melahirkan model konfederasi politik yang langsung mengakhiri perang yang bersifat fisik. Pasca perang, banyak yang disepakati dan kemudian menjadi bahan rujuk. Akan tetapi, pasca perang saudara ini tidak serta merta menyelesaikan problem yang lebih teknis-operasional. Perang pun dilanjutkan dalam bentuk olah siasat dengan menggunakan pola pikir. Maka, perang fisik bertransformasi perang urat syaraf. Dalam perang urat syaraf, model siasat, negosiasi, diplomasi dan dialog dikerangkai dalam rangka mencari “menang”, “mengalahkan” maupun mencari konsensus. Hal ini yang menjadi tradisi yang hingga kini masih bisa kita dengar dan saksikan.
Penyemaian Benih Demokrasi
Pada konteks kekinian, tradisi lisan, bercakap, ngobrol yang “bertemu” dengan warisan olah siasat, dipertemukan oleh warung kopi yang menyebar di seluruh penjuru Gorontalo. Titik temu antara tradisi, memori kolektif dan “pasar” menjadi menarik untum dianalisis secara lebih mendalam. Kehadiran warkop tidak lain karena melihat ceruk pasar “bercakap” yang besar.
Maka karena itu, hampir bisa kita saksikan Warkop Tong deng Tong, Warkop Aceh, Warkop Amal, Warkos, Warkop Tip Top, Atap Toea, Maksoed Cafe, Kopi Kampung, Warkop Ka Dino, Warkop Mekar dan banyak warkop lainnya adalah warung kopi yang terbilang memiliki pengunjung dengan jumlah tinggi. Warkop-warkop yang berdiri dan tumbuh ini sedikitnya telah memberi kontribusi bagi tumbuhnya demokrasi di Gorontalo. Jika selama ini, isu tata kelola pemerintahan, ekonomi lokal, isu politik, dan ragam topik lainnya lebih banyak didiskusikan di meja akademik, kini topik-topik tersebut mendapat tempat untuk dibicarakan secara lebih luas.
Di antara warkop-warkop tersebut, ada beberapa warkop yang dikhususkan untuk lebih ke fungsi sosial seperti Warkop Amal. Sebagian besar keuntungan dari transaksi di Warkop Amal ditujukan untuk kegiatan sosial seperti operasional Panti Asuhan. Terakhir, Warkop Amal dan Warkop Aceh menjadi tulang punggung pengumpulan donasi untuk korban gempa di Palu-Donggala. Fungsi sosial ini yang menjadi bagian dari perkembangan warkop lokal.
Pada fenomena kekinian ini, menjadi terang bahwa warkop telah mampu menyemaikan benih-benih demokrasi untuk tumbuh pesat. Tetapi, ruang-ruang akademik di perguruan tinggi sepertinya mulai ditinggalkan dan terkesan acuh dengan isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Kondisi ini semakin menabalkan posisi perguruan tinggi berada pada menara gading dan sangat berjarak dengan problem yang sedang mengakar di masyarakat. Banyak kini orang datang ke warkop dengan tujuan meng-update perkembangan isu dan mencari jalan keluar, dibandingkan dengan datang ke perguruan tinggi untuk meminta pengarahan untuk jalan keluar. Pemerintah daerah pun tak tinggal diam, kini rata-rata kepala daerah lebih banyak bekerjasama dengan warkop-warkop untuk menggali aspirasi sekaligus mendapatkan solusi atas masalah yang sedang ditangani. Biasanya, pelaksanaan dialog di warkop bekerjasama dengan media lokal seperti RRI, TVRI maupun media lainnya. Kepala daerah biasanya memboyong seluruh pejabatnya untuk bisa berdiskusi interaktif dengan warga dari warkop dan masyarakat lainnya.
Namun, bertaburnya warkop di Gorontalo mengundang beberapa pertanyaan sekaligus memberikan tantangan yang lebih maju. Pertanyaan dan tantangan yang mesti diajukan untuk fenomena kekinian ini adalah; 1). Seberapa kuat “tone” suara publik yang dihasilkan dari warkop untuk mengubah kebijakan dan mendorong demokratisasi? 2). Apakah warung kopi adalah bagian dari perwujudan “public sphere” seperti yang diidamkan Habermas? 3). Atau malah warung kopi ini menjadi bagian dari perayaan kontestasi elit yang butuh representasi publik untuk melegitimasi atau bahkan saling meniadakan? 4). Bagaimana kemudian menjadikan warkop menjadi ruang publik baru yang merupakan arena persemaian demokrasi lokal?
Pertanyaan dan tantangan ini adalah penting untuk diajukan sebagai bagian dari ikhtiar kita untuk merawat dan menyemai benih demokrasi di tanah Gorontalo.
Ruang Publik; Analog vs Digital
Pertanyaan di atas adalah realitas yang dialami oleh sebagian besar warkop di Gorontalo. Karena itu, agenda memperkuat demokrasi dalam rangka memperkuat “kapasitas kelembagaan” dari warkop mesti dijawab dengan beberapa hal; 1). “Tone” dari warung kopi pada beberapa kasus bisa mendorong perubahan kebijakan negara/pemerintah, namun dengan intensitas dan frekuensi yang cukup rendah. “Tone” yang kuat kadangkala adalah bagian dari skenario untuk minta “ditaklukkan” negara, bukan bagian dari agenda menyeimbangkan komposisi di level kebijakan, apalagi sikap kritis yang elegan. 2). Warkop bisa menjadi ruang publik baru jika bisa di setting menjadi pilar demokrasi sebagai bagian dari pilar kelompok masyarakat sipil. Namun, jika merunut hasil riset Indonesia Governance Index tahun 2013, kekuatan kelompok masyarakat sipil di Gorontalo sangat rendah dibandingkan dengan power negara. Maka karena itu, agenda untuk memperkuat warkop sebagai ruang publik baru Gorontalo menjadi sah dalam konteks untuk memperkuat mutu demokrasi lokal. 3). Lahirnya Generasi Z (kelahiran tahun 85-95) menjadi inspirasi perubahan baru dalam mendesain ruang publik baru dibanding berkutat pada Generasi X yang kehilangan pola dan legitimasi untuk melakukan perubahan. Generasi Z menjadi penting untuk masuk dalam redesain demokratisasi di tingkat lokal karena generasi ini lebih independen, cair dan agak kritis dalam segala hal serta lebih adaptif terhadap perubahan yang semakin konvergen. 4). Maka, yang bisa dipastikan kedepan, semakin banyaknya ruang publik baru, juga akan terjadi juga perebutan ruang yang lebih intens dan sengit. 5). Tafsir soal ruang publik baru yang selama ini dikangkangi oleh warkop bisa jadi akan diambil alih oleh new public space yang lebih digital-konvergen.
Perkembangan terakhir, kehadiran Portal Gorontalo, Forum Diskusi Gorontalo dan banyaknya grup WhatsApp akan menjadi “lawan tanding” baru bagi warkop yang analog/konvensional. Lawan tanding yang dimaksud adalah warkop yang konvensional ini hanya menjadi ruang penghiburan, bukan lagi tempat menyemai demokrasi lokal, dan malah persemaian demokrasi lokal terjadi di ruang-ruang yang digital/konvergen, yang bisa jadi lebih menjamin terwujudnya ruang publik baru di Gorontalo secara esensial.
Leave a Reply