Sebelum hasil keputusan resmi dari Komisi Pemilihan Umum mengenai hasil perolehan suara partai politik, ada beberapa data yang menarik (Litbang Kompas), khususnya soal partai mana yang naik, turun dan keluar dari parlemen. Terlihat bahwa banyak partai yang “drop” hasil suaranya dalam Pemilu 2019, namun ada juga yang meraup suara signifikan.
Jika diurai, maka terlihat ada 5 partai yang naik perolehan suaranya dibandikan Pemilu 2014. Partai itu antara lain PDI P (+1.27), Gerindra (+1.01), PKB (+0.35), PKS (+1.77), dan Nasdem (+1.41). Dari kelima partai ini, terlihat PKS yang naik secara signifikan yakni naik 1.77 %.
Namun, ada juga partai yang turun perolehan suaranya dalam Pemilu 2019 dibandingkan dengan perolehan suaranya di Pemilu 2014. Partai-partai itu antara lain, Golkar (-3.04), Demokrat (-2), PAN (-0.84), PPP (-1.8), Hanura (-3.9), PBB (-0.7), PKPI (-0.69). Dari tujuh partai tersebut, Hanura yang paling turun suaranya dan otomatis terlempar dari Senayan.
Pergerakan perolehan suara ini menjadi menarik untuk lebih didalami. Partai berbasis Islam yang mampu bertahan dan bahkan naik adalah PKS. Kemungkinan besar, partai inilah yang menyedot secara signifikan suara dari PPP dan PBB. Walaupun sempat mengalami pembelahan secara internal baik faktor Garbi maupun faktor friksi elit, namun hal ini tidak berdampak pada perolehan suara PKS, malah kemungkinan faktor ini yang membuat “semangat” faksi internal naik, termasuk juga karena ada faktor eksternal yang dianggap “mengancam”.
Nasdem juga mengalami kenaikan walaupun “badai” di detik-detik terakhir masa kampanye. Namun, yang agak unik adalah PDI Perjuangan dan Gerindra yang “mestinya” memperoleh efek ekor jas (coattail effect) dari Jokowi maupun Prabowo, tetapi malah tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Begitu pula dengan PKB yang hanya naik 0.35%, sepertinya faktor KMA dan upaya soliditas basis NU ke 01, rupanya tidak menaikkan secara signifikan perolehan suara PKB.
Pemilu 2019 juga membuat 7 partai lain turun, bahkan ada yang turun drastis. Partai yang mengalami penurunan drastis adalah Hanura yang berkurang 3.9% suaranya. Yang menarik adalah Golkar dan Demokrat yang juga turun sekitar 3.04 % dan 2%. Kemungkinan besar total 9% suara ketiga partai ini disedot oleh PDI P, Gerindra, Nasdem, PSI, Perindo dan Berkarya. Keunikan lainnya adalah Golkar yang berada di barisan 01 bukannya mendapat kenaikan signifikan, namun malah turun. Begitu pula dengan Demokrat yang bergabung di 02. PPP juga mengalami penurunan sekitar 1.8%, namun jika melihat “badai” politik di bulan terakhir masa kampanye, penurunan ini tidaklah dianggap signifikan. Begitu pula dengan PAN.
Dari data sementara ini, sambil menunggu keputusan resmi KPU, terlihat bahwa prediksi partai Islam yang menurut beberapa lembaga Survei “dianggap” tidak bisa melampaui Presidential Treshold 4%, namun rupanya bisa membalikkan keadaan. PKS, PAN, PPP jika dari data ini kemungkinan besar akan punya kursi di Senayan. PPP kemungkinan besar bisa bertahan karena ada “semangat” kolektif yang bisa dibangkitkan oleh Plt. Ketua Umum Soeharso Monoarfa setelah mengalami “shock” luar biasa. PAN juga bisa bertahan karena ada penguatan basis Muhammadiyah yang lebih solid ke 02 yang termasuk PAN sebagai pengusungnya. Untuk PKS sendiri itu lebih dikarenakan faktor soliditas internal yang digelorakan karena ancaman “eksternal” dan juga “internal”.
Hasil perolehan suara partai politik di Pemilu 2019 akan semakin banyak melahirkan prediksi dan kajian yang menarik mengenai dinamika politik Indonesia akan datang, termasuk bagaimana model pengelolaan partai secara lebih maju dan modern, hingga bagaimana rekrutmen elit partai, pengelolaan isu, gagasan dan basis ideologis partai, dan yang lebih utama adalah soal pembiayaan partai politik yang selama ini masih belum menemukan model yang terbaik. Poin terakhir ini yang banyak menjadi persoalan di tubuh partai-partai. Banyaknya kasus korupsi yang berhasil diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di tubuh partai politik adalah alarm bagi semua partai untuk segera mencari model pembiayaan partai politik kedepan.
Jika ini tidak bisa diatasi dengan segera, maka partai-partai di Pemilu 2024 akan lebih menurun legitimasinya di mata publik. Hal ini terlihat cukup terang pada survei dari Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Mei 2018 bahwa sentimen positif terhadap demokrasi ini ternyata tidak diikuti oleh kepercayaan publik terhadap partai politik. Hal serupa juga terekam dari hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang dirilis pada Oktober 2018, bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik (parpol) menurun sebanyak 75 persen.
Dari survei yang lain yakni Indo Barometer pada tahun 2017 juga menampilkan data bahwa sebanyak 51,3 persen masyarakat menilai politik buruk, juga ada 62,9 persen masyarakat merasa tidak dekat dengan partai. Efeknya, masyarakat juga tidak percaya kepada lembaga DPR. Charta Politika juga mengeluarkan hasil survey pada bulan Agustus 2018 yang menyatakan bahwa partai politik hanya mendapat kepercayaan sebesar 32,5 persen dari masyarakat. Paling rendah di antara semua lembaga yang ada di Indonesia. “Alarm” ini perlu menjadi perhatian bagi partai politik di Indonesia, sebab jika hingga 2024 model pengelolaan partai politik masih sama dengan yang ada saat ini, maka ini adalah ancaman serius bagi penguatan demokrasi di Indonesia di masa akan datang.
Leave a Reply